Fakultas Hukum UGM melalui Center for Law and Social Justice (LSJ) melaksanakan rangkaian kedua dari seri bedah buku “Mendengar Suara Korban” pada Kamis (21/9/2023). Dalam kesempatakan kali ini, LSJ berkesempatan untuk berkolaborasi dengan BEM KM UGM, DEMA Justicia, dan LEM Kehutanan. Kegiatan yang dilaksanakan di Auditorium Fakultas Hukum UGM ini bertujuan untuk memupuk kepedulian dari pihak yang haknya diingkari serta memperluas perspektif mengenai keadilan dan HAM dalam lingkup pendidikan. Hal ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs dinilai ke-4, yaitu pendidikan berkualitas dan nilai ke-16, yaitu perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh.
Buku yang menjadi pembahasan dalam seri ini berjudul “Catatan Kecil dari Orang Kecil untuk Orang Kecil” yang ditulis oleh Kawit. Kawit sendri merupakan salah satu korban penggusuran yang terjadi di wilayah Parangkusumo. Selain Kawit, diskusi ini menghadirkan 3 pembicara lain, yaitu Rikardo Simarmata dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno FH UGM, Eko Teguh Paripurno dari Pusat Penelitian dan Penanggulangan Bencana UPNVYK, dan Stevanus Hizkia selaku Ketua dari DEMA Justicia.
Dalam diskusi kali ini fokus pembahasan tertuju pada pro-kontra kepemilikan tanah oleh Keraton khususnya di Yogyakarta. Isu ini sendiri merupakan isu lama yang dibangkitkan kembali dengan adanya permasalahan penggusuran di daerah Parangkusumo.
“Seingat saya, penggusuran di Parangtritis itu sudah enam kali,…mulainya 2007. Sebutannya macam-macam biar kesannya tidak gusuran. Ada pengosongan, penataan, pengaturan, penertiban. Kalau ada warga yang menolak disebutnya nggak mau ditata. Berarti warga yang mempertahankan haknya itu disamakan dengan orang yang nggak mau ditata, nggak mau diatur.” Kawit membagikan kisahnya saat terjadi penggusuran tersebut. “Ratusan rumah digusur sejak 2007 dan banyak hingga saat ini belum diberi ganti tempat,” lanjut Kawit dalam diskusi.
Eko Teguh berpendapat, “Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menata ulang, di mana tempat bagi warga itu harus diberikan.” Diskusi ini menarik kesimpulan bahwa pro-kontra terhadap tanah kesultanan itu selalu ada dan belum ada titik temunya, solusinya hanya perlu koreksi. Gejolak kepemilikan tanah hanya bisa diselesaikan dengan rispek antara masyarakat dengan pihak keraton.
Harus disadari bersama bahwa hak tanah jika sepenuhnya dikuasai bukan untuk rakyat itu bagian dari praktik feodalisme yang berakar. Untuk apa ekonomi jika masyarakatnya sendiri mati? Upaya mengembangkan wisata seharusnya menghargai hak-hak sosial ekonomi warga, serta menjaga kearifan masyarakat atas akses sumber daya pesisir. Keberlangsungan sosial ekonomi diharapkan menghadirkan makna adil bagi generasi mendatang (intergenerational justice).
Penulis: LSJ
Editor: PR