Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PANDEKHA) menyelenggarakan siaran penyuluhan hukum bertajuk “Hukum Bukan Menara Gading: Mengapa Partisipasi Publik Itu Penting” melalui program Hibah Penyuluhan Hukum oleh Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PKBH FH UGM) dengan TVRI Yogyakarta. Acara ini disiarkan langsung Rabu (1/10/2025), pukul 11.00 WIB di TVRI Yogyakarta, yang membahas tentang pentingnya partisipasi publik dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Penyuluhan hukum ini dihadiri oleh sejumlah peserta sebagai penonton langsung siaran termasuk mahasiswa, volunteer dan peneliti PANDEKHA, serta perwakilan dari masyarakat sipil yang aktif dalam advokasi kebijakan publik. Acara ini juga melibatkan tiga narasumber utama yaitu Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UII), Wasingatu Zakiyah, S.H., M.A. (Direktur CAKSANA Institute, Aktivis Partisipasi Publik), dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. (Dosen Fakultas Hukum UGM, Peneliti PANDEKHA). Masing-masing narasumber membahas berbagai perspektif terkait dengan urgensi keterlibatan publik dalam pembentukan kebijakan dan peraturan di Indonesia.
Prof. Ni’matul Huda memulai penyuluhan dengan membahas kerangka hukum yang mendasari partisipasi publik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Ia menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembuatan kebijakan, mulai dari penyusunan hingga implementasi termasuk fenomena banyaknya perkara permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi akibat kurangnya partisipasi publik tersebut, agar kedepannya kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi rakyat. Menurutnya, partisipasi publik yang transparan dan akuntabel sangat penting untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih demokratis dan berkeadilan.
Wasingatu Zakiyah kemudian melanjutkan dengan membahas fenomena minimnya partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Ia memberikan contoh beberapa kasus konkret yang dianggap tidak cukup melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya, sehingga menyebabkan ketidakpercayaan terhadap kebijakan yang dihasilkan. Wasingatu menegaskan bahwa “partisipasi yang berarti” atau “meaningful participation”, harus melibatkan masyarakat secara substansial dalam menentukan kebijakan yang akan diberlakukan.

Zainal Arifin Mochtar menambahkan mengingatkan untuk tidak salah presepsi. DPR hanya sebagai representasi rakyat, bukan berarti parsipasi rakyat tidak diperlukan lagi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Justru masyarakat wajib dilibatkan dan ditanyakan mengenai RUU yang akan dibentuk, seperti sebesar apa manfaatnya, apakah masyarakat butuh, dampak positif dan negatifnya, dan juga beberapa perdebatan lainnya. Semua hal ini wajib melibatkan masyarakat yang akan menjadi subjek yang dikenai aturan itu. Menurut Zainal Arifin Mochtar, posisi DPR harusnya sebagai penyambung suara rakyat, bukan pengganti suara rakyat. Sehingga apabila standar-standar ini tidak ada, maka jelas akan terus terdapat begitu banyak aturan yang dikebut hanya karena alasan tuntutan waktu (Midnight Regulation) yang menghabiskan keuangan negara atau aturan itu dibentuk diam-diam oleh dan untuk kepentingan sekelompok orang (Cinderella Action) yang hanya dapat menghancurkan masyarakat dan berpotensi melanggengkan oligarki.
Penyuluhan hukum ini juga menggambarkan pentingnya peran serta masyarakat dalam menentukan arah kebijakan, serta bagaimana peran DPR sebagai representasi rakyat harus diimbangi dengan keterlibatan aktif dari masyarakat. Masyarakat harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat mereka terkait dengan RUU yang sedang dibahas, untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang inklusif dan menguntungkan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penyuluhan ini juga sangat relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 16: “Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh”, yang menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan serta terciptanya sistem hukum yang adil dan transparan. Selain itu, SDG 4: “Pendidikan Berkualitas” juga terhubung erat, mengingat bahwa pendidikan hukum yang baik adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih terinformasi dan berdaya dalam proses legislasi. Berdasarkan SDG 10: “Mengurangi Ketimpangan” dan SDG 17: “Kemitraan untuk Mencapai Tujuan”, acara ini juga memperkuat pentingnya inklusivitas dan kolaborasi dalam pembentukan kebijakan.
Dengan diadakannya siaran penyuluhan ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya hak partisipasi mereka dalam pembuatan kebijakan, serta mendorong terciptanya sistem legislasi yang lebih transparan, inklusif, dan demokratis di Indonesia.
Penulis: Poppy Hairunnisa (PANDEKHA)