Hak Atas Pembangunan: Refleksi dari Konflik Agraria Rempang dan Proyek Strategis Nasional (PSN)

Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan HAM (PANDEKHA); Pusat Kajian Law and Social Justice (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta berkolaborasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Republik Indonesia dan Forum Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau dengan mengadakan diskusi untuk merespon isu-isu krusial yang berdampak nasional dengan mengangkat tema terkait “Hak Atas Pembangunan: Refleksi dari Konflik Agraria Rempang dan Proyek Strategis Nasional (PSN)”. Pembicaraan mengenai Hak Atas Pembangunan sangat relevan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), dimana pemerintah Indonesia sudah menyampaikan komitmennya untuk mendukung pencapaian SDGs. Topik Hak Atas Pembangunan sesuai dengan SDGs angka 1, 3, 7, 10, 11, 15 dan 16.

Mengingat bahwa beberapa tahun terakhir permasalahan terkait HAM tantangannya semakin besar salah satunya adalah terkait dengan Hak atas pembangunan dengan merefleksi dari kasus konflik agraria yang terjadi di Rempang. Apabila tidak ada perubahan strategi pembangunan yang dilakukan saat ini, kasus rempang bisa jadi bukanlah yang terakhir ditengah berjalannya PSN. Melalui diskusi-diskusi akademik seperti ini kita dapat mempertimbangkan dan memberikan tawaran solusi alternatif kedepan dalam mengatasi permasalahan konflik agrarian dan merealisasikan hak atas pembangunan untuk warga negara. Pengantar tersebut disampaikan oleh Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A melalui sambutannya selaku Ketua Pandekha.

Rakhmadia Siraj selaku Ketua Forum Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau menyampaikan pengantar dalam diskusi bahwa, konflik tanah di Rempang, diawali sejak tahun 1980-an yang mana terdapat perjanjian antara presiden soeharto terkait hak pengelolaan yang kemudian diserahkan kepada BP Batam, awalnya 16 kampung tua tidak disentuh oleh otoritas BP Batam, namun pada 2002 BP Batam mulai mengambil tanda tangan hak guna pakai dengan tujuan untuk pembangunan industri. Implikasinya adalah terjadi overlapping antara tanah adat yang dipercayai oleh masyarkat adat (Rempang) dan tanah yang dimiliki oleh leluhur. Pada tahun 2023 terdapat penandatanganan oleh menteri bahlil terkait investasi PSN, yang mana kemudian masyarakat tidak diterima karena adanya relokasi namun bukan menolak adanya proyek investasi. Penolakan relokasi tersebut dengan justifikasi bahwa, 1). Mata pencarian warga setempat merupakan nelayan, yang mana relokasi dilakukan ditengah perkotaan sehingga akses untuk ke laut sangat jauh; 2). Terdapat kuburan dan tanah leluhur yang telah ada sejak lama; 3). Terdapat selisih paham dan perbedaan perspektif antara masyarakat asli rempang dan masyarakat pendatang terkait dengan relokasi. Kondisi di Rempang saat ini masyarakat masih berjaga dengan kawalan secara ketat oleh pihak kepolisian dan TNI sehingga timbul rasa was-was dan ketidaknyamanan oleh masyarakat.

Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., M.C.L., M.P.A yang merupakan Guru Besar Hukum Agraria FH UGM lebih lanjut menjelaskan bahwa tujuan PSN 2 yakni: 1). Pertumbuhan ekonomi; 2). Pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat sementara hak atas pembangunan sebagai salah satu HAM setidaknya ada 3 yakni: Hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Melihat kasus Rempang dengan jelas menunjukkan adanya konflik relasi sebagai dampak komunikasi satu arah tanpa pelibatan masyarakat terkait rencana proyek dan relokasi. Beliau menilai bahwa dimana fairness keseimbangannya? Ketika hak tidak diberikan tapi kewajiban harus dilakukan yang mana tanah merupakan hak dasar yang diberikan oleh konstitusi. Sejauhmana ketimpangan dalam akses dapat dibenarkan? Sejauh hal itu menguntungkan anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan. Fokus keadilan sosial adalah nasib anggota masyarakat yang kurang beruntung. Secara empiris menurut keterangan dari BP Batam Pulau Rempang itu seluruhnya kawasan hutan konservasi sementara dalam RTRW Kepri Pulau Rempang disebut sebagai hutan lindung. Lalu bagaimana relevansinya dengan PSN? Dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan pasal 24 menyatakan hutan lindung dan konservasi boleh dilepaskan untuk Proyek Strategis Nasional. Lalu bagaimana dengan warga Rempang yang kawasannya di klaim sebagai Kawasan hutan? Terdapat SK walikota batam tahun 2004 yang menyatakan bahwa kampung tua itu jangan dijadikan hak pengelolaan HPL dari Otoritas Batam jadi BP Batam, karena tidak ada tindak lanjut maka tidak terdapat sertifikatnya. Sementara tahun 2019 Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil membagikan 1.406 sertifikat di tiga lokasi kampung tua Kota Batam dan berjanji untuk menyelesaikan sertifikasi 34 kampung tua lain di Batam. Secara tidak langsung, pengakuan terhadap tanah warga kampung tua di Pulau Batam berlaku juga bagi warga kampung tua di lokasi lain. Terkait dengan relokasi atau pemukiman kembali atau involuntary resettlement. Involuntary (adanya keinginan secara pribadi untuk berpindah) sementara involuntary (karena adanya paksaan atau keterpaksaan). Prasyarat involuntary resettlement mencakup: 1). Penilaian awal kondisi social; 2). Rencana relokasi yang rinci dan jangka waktunya; 3). Pemulihan kembali kondisi sosial ekonomi warga, peluang kerja, langkah untuk mengatasi permasalahan yang timbul, monitoring, dan evaluasi, karena ukuran seharusnya adalah Replacement Value (Nilai Pengganti). Dengan kata lain, relokasi tak bisa ditentukan secara sepihak dan harus melibatkan masyarakat, terutama masyarakat terdampak. Resettlement yang baik seharusnya memberi kesempatan pihak untuk melihat dan menilai tempat dimana ia akan dipindah jadi terdapat pilihan-pilihan untuk hal tersebut. Tawaran relokasi yang tidak partisipatif itu sejatinya menyisakan permasalahan yang cukup besar karena tidak memperhitungkan kondisi psikologis warga, misalnya 1). Kekhawatiran kehilangan sejarah/identitas; 2). Tecabut dari jejaring sosial yang ada; 3). Ketidakpastian untuk mengawali hidup di tempat yang baru; dan 4). Akan adanya potensi konflik horizontal di warga sekitar. Relokasi tanpa partisipasi akan sulit diterima warga terdampak. Menawarkan bentuk/fasilitas relokasi dan lain-lain dan menetapkan prioritas penerima, tanpa memberikan waktu bagi masyarakat untuk berpikir dan membuat pilihan atau keputusan, terkesan menjadikan relokasi sebagai satu-satunya jalan keluar. Keputusan yang reaktif akan menghasilkan seperti ini, dan kesalahan yang dilakukan harus diperbaiki reaktif juga.

Saurlin P. Siagian S.Sos., M.A sebagai Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI menyampaikan respon atas penyelidikan terkait konflik agraria khususnya peristiwa rempang. Tahun 2023 ini Komnas HAM menerima tambahan pengaduan konflik agraria yang signifikan sebanyak 692 kasus. Secara kumulatif, pada periode Januari 2021 sd. 31 Agustus 2023, jumlah aduan konflik agraria mencapai 1.532 kasus. Saat ini Tim Agraria sedang melakukan kajian atas konflik agraria secara menyeluruh yang diharapkan menghasilkan peta jalan penyelesaian konflik agraria berbasis HAM. Dalam melahirkan peta jalan dan rekomendasi itu, Tim Agraria sedang melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan lintas kementerian, lembaga, pemerintah daerah, serta organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Lebih lanjut Komnas HAM menilai konflik agraria yang masuk terkait dengan kebijakan dan keputusan pemerintah baik dalam skala nasional maupun sektoral, termasuk daerah, yang gagal menghadirkan keadilan bagi warga masyarakat. Aduan konflik agraria semakin menumpuk di Komnas HAM, karena resolusi yang ada tidak memadai, dan tanpa melibatkan lintas kementerian yang disyaratkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dalam konteks aduan konflik agraria terbanyak, dari empat aduan tertinggi, (yakni sektor lahan/pertanahan, perkebunan, infrastruktur, dan perumahan), sebanyak 80 % merupakan konflik lahan. Kasus yang masuk ke Komnas HAM dapat dilihat terkait erat antara satu sektor dengan sektor lainnya, seperti kasus pertanahan terkait dengan perkebunan dan infrastruktur. Berkaitan dengan peristiwa kasus Rempang didapatkan beberapa temuan yang dilakukan oleh Komnas HAM memberikan sikap, posisi, dan rekomendasi diantaranya: 1). Meminta Pemerintah meninjau kembali Pengembangan Kawasan Pulau Rempang Eco City sebagai PSN berdasarkan Permenko RI Nomor 7 tahun 2023; Meminta ATR BPN tidak menerbitkan APL di lokasi Pulau Rempang mengingat bepotensi pelanggaran HAM; Relokasi harus dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan sudah tersedia sesuai kebutuhan; Pemerintah harus melakukan dialog dan sosialisasi yang cukup dan baik atas rencana pengembangan dan relokasi tersebut; Pemerintah harus menghargai keinginan dari masyarakat terdampak untuk tidak pindah lokasi sehingga tidak perlu merelokasi warga; dan Tidak menggunakan cara kekerasan dengan pelibatan aparat dalam proses relokasi dan hal terkait PSN di Pulau Rempang. Komnas HAM juga berharap bahwa jaminan komitmen pemerintah dalam memperbaiki proses pelaksanaan Proyek Rempang Eco City tersebut dapat dituangkan dalam kebijakan yang transparan, dan dikonsultasikan dengan masyarakat yang terdampak disana.

Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A., Ph.D selaku Ketua LSJ FH UGM menyampaikan bahwa terdapat beberapa masalah mendasar namun tidak dianggap sebagai permasalahan, seperti halnya 1). Proyek Rempang Eco City itu naik statusnya setelah mendapat investasi dimana sebelumnya bukan menjadi PSN pada 28 Agustus 2023; 2). Implikasinya adalah pengosongan, hal tersebut sejatinya bertentangan dengan konstitusi. Right to development (RTD) bukan hanya berbicara kepentingan individu tapi kolektiva yang memiliki hak. Cara pandang hukum kita itu dominasi states, padahal hukum dalam konteks lokal itu exist di masyarakat yang bersistem plural; 3). Politik penarasian dengan cara soft. Konsep dan latar belakang Right to development diantaranya: 1) problem kolektiva yang harus diakui dalam HAM; 2) terlampau banyak kasus yang menyingkirkan hak-hak masyarakat karena kolonialisme, imperialisme, dan proyek-proyek massif menggusur mereka; 3). Terlalu banyak pelanggaran HAM yang sifatnya eksesif. Saya sependapat bahwa “ada kaitan erat antara UU Cipta Kerja dengan massifnya PSN yang menabrak prinsip-prinsip dasar Right to development”. Siapa yang diutamakan ketika ada rencana proyek strategis nasional? Menurut deklarasi Right to development adalah 1). Masyarakat, sebagai subjek utama dalam penerima manfaat pembangunan; 2) Konsekuensi nya adalah pengakuan penciptaan pendukung perkembangan masyarakat dan individu itu merupakan tanggung jawab utama negara; 3). Penegasan atas hak pembangunan merupakan HAM yang tidak dapat dicabut, tidak boleh dilanggar, termasuk hak atas bertempat tinggal yang layak dan hak atas pekerjaan. Prinsip yang perlu difikirkan apabila Right to development sebagai konsep dan pendekatan kunci adalah: 1) Human Right Based to Approach; 2). Dimensi nasional dan internasional; 3) People Centered Development; 4). Participation. Berkaitan dengan hal tersebut kewajiban negara sejatinya adalah: 1). Negara merumuskan kebijakan pembangunan nasional dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui partisipasi yang aktif, bebas, keadilan, dan distribusi manfaat yang dihasilkannya; dan 2); Negara harus mengambil langkah tegas untuk menghilangkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan mengakui hak dasar masyarakat untuk menentukan nasib nya sendiri.

“Sejauh pembangunan itu tidak pernah menghargai prinsip dalam HAM yakni human dignity (Pemartabatan manusia) maka itu bukan pembangunan, namun itu penjajahan, penyingkiran, dan eksploitasi”- Herlambang P. Wiratraman. [Yogyakarta, 27 September 2023].

 

(Penulis Tria Noviantika – Rabu, 27 September 2023)

 

Dokumentasi Kegiatan

 

TAGS :  

Latest News

Magister Ilmu Hukum UGM Gelar Lokakarya Pengembangan Kurikulum untuk Hadapi Tantangan Dunia Hukum Modern

Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada sukses menggelar kegiatan lokakarya evaluasi dan pengembangan kurikulum pada Kamis (12/12/2024), bertempat di Hotel Alana Palagan. Kegiatan yang …

Delegasi FPPH Palapa FH UGM Raih Juara 3 di Kompetisi Hukum Nasional UII Law Fair VI 2024

Delegasi FPPH Palapa kembali menorehkan prestasi. Kelompok Raden Ajeng Kartini yang diketuai oleh Dhea Praja Gupta dengan beranggotakan Eva Selvia Putri Arlista dan Ghefira Mustika …

Departemen Hukum Perdata UGM Gelar Workshop untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan Hukum

Minggu (1/12/2024) hingga Senin (2/12/2024), Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan workshop berjudul “Evaluasi, Pembaruan Materi, dan Metoda Pembelajaran Mata Kuliah Wajib …

Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada sukses menggelar kegiatan lokakarya evaluasi dan pengembangan kurikulum pada Kamis (12/12/2024), bertempat di Hotel Alana …

Delegasi FPPH Palapa kembali menorehkan prestasi. Kelompok Raden Ajeng Kartini yang diketuai oleh Dhea Praja Gupta dengan beranggotakan Eva Selvia Putri Arlista …

Minggu (1/12/2024) hingga Senin (2/12/2024), Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan workshop berjudul “Evaluasi, Pembaruan Materi, dan Metoda Pembelajaran …

Dua mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Chikita Handriana dan Muhammad Razaq, meraih prestasi luar biasa dengan mendapatkan Juara …

Scroll to Top