LGS Fakultas Hukum UGM Gelar Diskusi Publik Bahas Akomodasi Layak Bagi Penyandang Disabilitas

Pusat Kajian Law, Gender, & Society (LGS) Fakultas Hukum UGM telah sukses menyelenggarakan Legal Public Discussion Seri 5 dengan tema “Dialog Inklusivitas: Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Perspektif Ekonomi Perawatan” pada Jumat (15/11/2024).  Kegiatan ini dihadiri oleh 54 orang peserta civitas akademika dan umum, 5 orang narasumber, 1 orang moderator serta 17 orang tamu undangan komunitas GERKATIN Sleman, GERKATIN Bantul, PERTUNI DIY, KDK Trimulyo, LBH Jogja, LBH APIK Jogja, LBH Jogja, Rifka Annisa, Rekso Dyah Utami, RS Bethesda, RS Panti Rapih, GERKATIN DIY, GERKATIN Gunung Kidul, GERKATIN Kulon Progo, dan PERTUNI Gunung Kidul. 

Penyelenggaraan kegiatan Legal Public Discussion ini merupakan program prioritas LGS. Program ini merupakan kontribusi dalam pemikiran kritis, diskursif, dan emansipatif terhadap hukum dan situasi yang berkembang di dalam negara dan masyarakat dengan membahas isu-isu gender dan kelompok rentan, baik mengenai suatu kasus ataupun proses pembentukan kebijakan. Legal Public Discussion ini juga bertujuan untuk menemukan rekomendasi sebagai bentuk respon dan kepedulian atas terjadinya suatu fenomena atau proses pembentukan kebijakan yang berkaitan kelompok rentan khususnya disabilitas. Tujuannya adalah untuk mengkaji perkembangan hukum di Indonesia terkait isu gender dan disabilitas, mengevaluasi implementasi akomodasi yang layak dengan perspektif inklutivitas, dan memetakan prospek kebijakann dan implementasi kebijakan terkait akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. 

Diskusi dipimpin oleh Nailul Amany, S.H., M.H. dengan beberapa pembicara perwakilan penyandang disabilitas, caregiver disabilitas, NGO, Dinas Sosial, dan Akademisi.

Materi pertama disampaikan oleh Wuri Handayani, S.E., Ak., M.Si., M.A., Ph.D. dengan topik Aspirasi teman-teman disabilitas terkait akomodasi yang layak dari perspektif ekonomi perawatan. Wuri menekankan bahwa penyandang disabilitas menghadapi berbagai macam batasan baik dari stigma, hukum, secara kultural maupun struktural. Contohnya seperti hukum yang ada belum sepenuhnya memihak disabilitas dengan adanya beberapa peraturan terkait kriteria sehat jasmani dan rohani yang dalam praktiknya menghambat penyandang disabilitas. Perlu diperhatikan bahwa akomodasi yang layak perlu dipenuhi dengan 3 aspek yaitu proses, fasilitas, media dan alat yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Institusi diharapkan untuk melakukan identifikasi dan fasilitasi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Wuri juga menyampaikan bahwa akomodasi yang layak merupakan tanggung jawab dari Negara, penyedia kerja, layanan umum, pribadi, hingga masyarakat. 

Materi kedua disampaikan oleh Reny Indrawati dengan topik Refleksi pengalaman selama ini sebagai caregiver dan pendamping penyandang disabilitas. Sebagai perawat anaknya yang menyandang cerebral palsy, Reny menyatakan setelah diagnosa dibutuhkan waktu untuk persiapan dan harus belajar banyak terkait dengan treatment yang diperlukan untuk mengasuh anak. Memiliki anak penyandang disabilitas tentu akan menimbulkan extra cost baik untuk kehidupan sehari-hari, contohnya saat berpergian harus menggunakan mobil dan tidak bisa menggunakan motor, maupun cost yang dibutuhkan untuk terapi, antara lain fisioterapi, menulis, sensori, belajar dan lainnya. Persoalan lain adalah pemberlakuan batas usia BPJS yang hanya dapat digunakan hingga umur 7 tahun. Sehingga ketika anak menginjak umur 8 tahun seluruh biaya ditanggung secara pribadi. Pada akhir sesi materi, Reny berbagi bahwa sebagai pengasuh penyandang disabilitas diperlukan terus belajar, tetap optimis, dan memerlukan dukungan dari seluruh masyarakat. 

Kedua materi tersebut ditanggapi oleh Nurul Saadah A yang menyampaikan topik advokasi terkait akomodasi yang layak bagi disabilitas dan tantangannya. Nurul menyampaikan bahwa penyandang disabilitas dan pendamping memerlukan dukungan seperti asupan gizi, terapi, jaminan sosial, terapi, dan biaya lainnya serta dukungan perhatian, perlindungan sosial, dan psikologis. Nurul menyampaikan bahwa penyandang disabilitas membutuhkan extra cost sebesar 4.6% kenaikan berdasarkan data dari Prospera. Selain itu, perempuan cenderung dibebankan beban pengasuhan berlebih. Padahal seharusnya beban pengasuhan itu dilakukan bersama antara suami dan istri. Masing-masing harus berkontribusi dalam pengasuhan langsung bagi penyandang disabilitas. 

Dinas Sosial DIY diwakili oleh Heru Cahyo Romadhon, S.Tr.Sos.. Heru menyampaikan bahwa paradigma disabilitas harus diubah menjadi paradigma berdasarkan pandangan hak asasi manusia. Paradigma ini memerlukan andil lintas organisasi dan disiplin ilmu yang bertujuan untuk akomodasi yang layak untuk meningkatkan produktivitas penyandang disabilitas heingga dapat terbangun pembangunan inklusif. Khusus DIY, terdapat peraturan daerah yang berisi jaminan jamkesos bagi penyandang disabilitas melalui Perda Nomor 5 Tahun 2022. Peraturan tersebut perlu disosialisasikan secara masif sehingga dapat menyentuh seluruh penyandang disabilitas di DIY.

Selain itu terdapat kebijakan pusat 7 Sasaran RAN-PD yang berisi: 1) sasaran pendataan dan perencanaan yang inklusif; 2) sasaran penyediaan lingkungan tanpa hambatan; 3) sasaran perlindungan hak, akses politik, dan keadilan; 4) sasaran pemberdayaan dan kemandirian; 5) sasaran perwujudan ekonomi inklusif; 6) sasaran pendidikan dan keterampilan; dan 7) sasaran akses dan pemerataan layanan kesehatan. Secara praktikal terdapat beberapa balai yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas di DIY yaitu: Rehabilitasi Sosial dalam Panti, Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas, Balai Rehabilitasi Sosial Bina Karya dan Laras, Bantuan Sosial LKS-PD, Difabel Siaga Bencana, Asrama SLB dan Beasiswa Pendidikan, BLKPP, dan BAPELJAMKESOS. 

Materi terakhir disampaikan oleh Sri Wiyandi Eddyono, S.H., LL.M (HR). Ph. D sebagai akademisi yang merespon topik tersebut. Diawali dengan jumlah disabilitas di Indonesia yaitu lebih dari 22.9 juta orang yang menunjukkan bahwa ada urgensi kebutuhan akan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Dilihat dari salah satu aspek, pendidikan, jumlah penyandang disabilitas tersebut tidak proporsional dengan ketersediaan SLB. Maka hak disabilitas yang sudah diatur oleh Konstitusi yang ada dalam framework ‘setiap orang’ merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara.

Selain itu, caregiver penyandang disabilitas juga perlu diperhatikan dengan mengubah praktik dari konstruksi sosial yang ada. Di mana perempuan dibebankan di sektor domestik karena adanya budaya patriarki. Impaknya adalah peran perempuan yang sentral tersebut tidak dianggap sebagai pekerjaan dan tidak memiliki kompetensi apa-apa. Dampaknya adalah perempuan harus melepaskan karirnya dan tidak dianggap sebagai Angkatan Kerja. Maka aspek-aspek dalam ekonomi perawatan yang harus dijadikan perhatian adalah membagi peran ke pemerintah, komunitas, keluarga, individu, dan masyarakat sehingga beban-beban yang telah disebutkan tersebut dapat menjadi tanggung jawab bersama.  Kegiatan ini kemudian ditutup oleh tanya jawab antara peserta dan pemateri. 

LGS berterima kasih kepada para narasumber dan peserta yang telah berpartisipasi aktif. LGS akan terus berkomitmen dalam menyelenggarakan dialog untuk meningkatkan pemahaman, sensitifitas, dan solidaritas antar masyarakat. Dalam konteks tersebut, LGS berkontribusi pada pewujudan UN Sustainable Development Goals 5 (Kesetaraan Gender), 10 (Penurunan Kesenjangan) dan 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh).

Penulis: Arimbi Fajari Furqon (LGS)

TAGS :  

Latest News

Departemen Hukum Perdata UGM Gelar Workshop untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan Hukum

Minggu (1/12/2024) hingga Senin (2/12/2024), Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan workshop berjudul “Evaluasi, Pembaruan Materi, dan Metoda Pembelajaran Mata Kuliah Wajib …

Mahasiswa Doktor UGM Presentasi di Tokyo: Bahas Standar Layanan Inklusif bagi Mahasiswa Disabilitas

Muhammad Karim Amrullah, mahasiswa program studi doktor ilmu hukum melakukan presentasi mengenai pandangannya tentang standar pelayanan mahasiswa penyandang disabilitas. Presentasi tersebut dilakukan dalam The 5th …

Delegasi FH UGM Sabet Beragam Penghargaan dalam Semar Law Festival 2024

Delegasi Soedikno Mertokusumo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sukses meraih 4 penghargaan dalam Semar Law Festival 2024 yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS). Kompetisi ini …

Minggu (1/12/2024) hingga Senin (2/12/2024), Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan workshop berjudul “Evaluasi, Pembaruan Materi, dan Metoda Pembelajaran …

Muhammad Karim Amrullah, mahasiswa program studi doktor ilmu hukum melakukan presentasi mengenai pandangannya tentang standar pelayanan mahasiswa penyandang disabilitas. Presentasi tersebut dilakukan …

Delegasi Soedikno Mertokusumo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sukses meraih 4 penghargaan dalam Semar Law Festival 2024 yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret …

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM meraih predikat akreditasi unggul dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berdasarkan Surat Keputusan Direktur …

Scroll to Top