Memasuki sesi kedua Seminar Nasional “Golden Visa: Antara Harapan dan Realita dalam Investasi Indonesia”, diskusi semakin mengerucut pada persoalan tata kelola, kepastian hukum, dan tantangan implementasi kebijakan di lapangan. Seminar ini dislenggarakan oleh Program Magister Ilmu Hukum FH UGM (Kampus Jakarta) pada Sabtu (23/8/2025).
Sesi kedua dipandu oleh Razikin, Presiden Keluarga KMMIH, yang dalam pengantarnya menegaskan bahwa meskipun banyak negara kini mulai menutup skema Golden Visa, Indonesia justru melihatnya sebagai fase awal untuk mendorong peluang investasi baru. Dengan perspektif tersebut, para narasumber memberikan pandangan yang beragam mengenai efektivitas Golden Visa sebagai instrumen strategis pembangunan nasional.
Pembicara pertama, Laurentius Amrih Jinangkung, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, menekankan pentingnya perlindungan hukum bagi investor asing. Menurutnya, fasilitas Golden Visa tidak akan berjalan efektif tanpa adanya kepastian hukum, akses pasar yang jelas, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang memadai. Ia menambahkan bahwa Indonesia telah memiliki 23 Bilateral Investment Treaty (BIT) dengan berbagai negara, dan terus berupaya memperluas kerja sama tersebut untuk memperkuat perlindungan investasi lintas negara.
Pandangan berbeda disampaikan oleh Ir. Basuki Tjahaja Purnama, yang menilai bahwa masalah utama investasi di Indonesia justru terletak pada faktor internal seperti korupsi, birokrasi perizinan yang rumit, serta tata kelola negara yang belum optimal. Menurutnya, Golden Visa berpotensi hanya menjadi solusi parsial apabila persoalan mendasar tersebut tidak segera diselesaikan oleh pemerintah.
Melengkapi diskusi, Prof. Jaka Triyana, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, menyampaikan hasil penelitiannya di lima destinasi wisata prioritas, yaitu Toba, Borobudur, Labuan Bajo, Bali, dan Mandalika. Dari riset tersebut ditemukan berbagai permasalahan pada skema visa konvensional, seperti lemahnya monitoring wisatawan asing, penyalahgunaan izin tinggal, hingga alih kepemilikan properti secara ilegal. Karena itu, Prof. Jaka menegaskan bahwa pengaturan Golden Visa harus ketat dan berbasis mekanisme hukum yang jelas agar benar-benar memberikan manfaat. Ia juga merekomendasikan reformasi birokrasi melalui digitalisasi layanan, penyederhanaan perizinan, optimalisasi anggaran, serta penguatan pelayanan terpadu satu pintu.
Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, sesi kedua ini menyoroti kaitan erat kebijakan Golden Visa dengan sejumlah agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Upaya memperkuat kepastian hukum dan tata kelola transparan sejalan dengan SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh). Rekomendasi digitalisasi dan penyederhanaan birokrasi mendukung SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), sementara dorongan untuk menciptakan manfaat yang inklusif bagi masyarakat luas mendukung SDG 10 (Pengurangan Kesenjangan). Selain itu, kerja sama internasional melalui Bilateral Investment Treaty mencerminkan kontribusi nyata terhadap SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).
Dengan demikian, seminar ini memberikan pesan penting bahwa Golden Visa seharusnya tidak dipandang semata-mata sebagai instrumen imigrasi dan investasi, melainkan juga sebagai bagian integral dari strategi besar pembangunan berkelanjutan Indonesia. Melalui regulasi yang kokoh, tata kelola yang baik, serta keterlibatan aktif dari akademisi, praktisi, dan masyarakat, Golden Visa dapat bertransformasi menjadi katalis bagi terwujudnya Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan berdaya saing tinggi dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang selaras dengan agenda global pembangunan berkelanjutan.
Penulis: Ramzy (MIH UGM Kampus Jakarta)
Editor: PR




