Pada hari Rabu, 7 Juli 2021, Business Law Community (BLC) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengadakan Webinar Bedah Buku Hukum Pariwisata Syariah di ASEAN yang dihadiri oleh Dr. H. Sandiaga Salahuddin Uno, B.B, M.B.A. (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia), Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada), dan Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., MA, AWP., CIQnR, CRMO (Dosen Business Law BINUS University dan Penulis Buku).
Menurut Anabel M A Manulang, Direktur BLC FH UGM dan Yosephine Ceria Warnanda selaku Ketua Panitia Acara menyampaikan bahwa ada lebih dari 1000 peserta di dalam acara webinar ini. Antusiasme dari kalangan mahasiswa, akademisi, praktisi, PNS, komunitas, hingga masyarakat mengikuti kegiatan webinar ini dikarenakan topik pembahasan yang sangat menarik. Kegiatan ini juga bekerjasama dengan BINUS University, ILSA BINUS University, dan Penerbit Prenada Media.
Di dalam sambutan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M. mengatakan bahwa buku Hukum Pariwisata Syariah di ASEAN ini terbilang langka dan nampaknya belum pernah ada di pasaran. Kajian ini menjadi penting terutama mengingat potensi Indonesia yang begitu besar dalam percaturan Halal Tourism di dunia. Selama pandemi ini sebaiknya Indonesia dan ASEAN Menyusun kesepakatan-kesepakatan untuk mempersiapkan pengaturan Halal Tourism yang dapat memberikan kepastian hukum kedepannya.
Dr. H. Sandiaga Salahuddin Uno, B.B, M.B.A. di dalam materinya menyinggung bahwa usaha pemerintah untuk mendorong Pariwisata Halal sampai dengan tahun 2030 sudah begitu banyak seperti membuat aplikasi Indonesian Muslim Friendly Tourism, Gerakan beli produk Halal, pengembangan dompet digital Syariah, kolaborasi dengan Travel Agent. Saat ini Indonesia menjadi negara nomor satu di dunia Bersama dengan Malaysia dalam pengembangan Halal Tourism.
Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D menyampaikan bahwa ASEAN baru-baru ini telah menyepakati ASEAN Trade in Services Agreement. Namun, ASEAN Trade in Services Agreement ini memiliki pengaturan yang agak berbeda dengan WTO. Terutama mengenai pengaturan keberlakuan umum dan khususnya. Disamping itu Hawin juga menyinggung terkait apakah Sertifikasi Halal menjadi Trade Barriers (hambatan perdagangan) dalam konteks perdagangan internasional. Dikarenakan Halal Tourism salah satunya menuntut adanya produk halal tidak hanya pada kuliner, bahkan untuk sektor-sektor lainnya.
Sementara itu, Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., MA, AWP., CIQnR, CRM selaku penulis buku Hukum Pariwisata Syariah di ASEAN menyampaikan bahwa sampai saat ini masih belum ada regulasi yang dibentuk oleh ASEAN terkait dengan Halal Tourism. Begitu pun beberapa negara anggota ASEAN belum memiliki regulasi setingkat Undang-undang yang dapat mendukung berlakunya wisata Halal/Syariah ini secara optimal. Beberapa negara hanya mengatur pada level Peraturan Menteri, kesepakatan para Ulama, hingga Sertifikasi Halal. Potensi besar wisatawan mancanegara terhadap Wisata Halal/Syariah ini harus ditangkap secara serius oleh ASEAN dikarenakan ASEAN merupakan regional yang memiliki kemampuan cukup besar di dunia dalam menyelenggarakan Wisata Halal/Syariah tersebut. Pengeluaran wisatawan muslim Indonesia mencakup 94% dari total pengeluaran wisatawan Tanah Air yang bepergian ke luar negeri. Secara keseluruhan, UNWTO mencatat wisatawan Indonesia yang pelesiran ke luar negeri menghabiskan uang hingga US$ 11,8 miliar atau sekitar Rp 167 triliun. Potensi ini harus direspon secara baik oleh Indonesia dan ASEAN untuk dapat mengoptimalkan Halal/Syariah Tourism di Kawasan ASEAN.