“Buku Putih” yang berisi tujuh belas tulisan tim dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) resmi diluncurkan pada Senin (15/2). Di dalamnya terpetakan permasalahan hukum beserta beberapa solusinya. Sebagai salah satu acara dies natalis FH UGM ke-70, peluncuran buku ini merupakan salah satu wujud sumbangsih FH UGM terhadap pembangunan hukum Indonesia. Dekan FH UGM, Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D. menuturkan dalam sambutannya bahwa ia berharap agar buku ini dapat dibaca masyarakat dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Linda Yanti Sulistiawati, S.H., M.Sc., Ph.D sebagai moderator memaparkan bahwa proses pembuatan buku ini sudah diwacanakan sejak Jokowi hampir memenangkan Pemilu 2014. Setiap penulis diminta menuangkan gagasan sesuai kepakarannya setelah mencermati Nawacita agar bisa menjadi masukan bagi permerintah baru.
Keynote speaker, Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., MCL., MPA., menekankan bahwa masih banyak tumpang-tindih produk hukum di Indonesia yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan akses di masyarakat. Pada kesempatan ini beliau mengimbau para dosen untuk lebih aktif menulis dan melakukan riset demi kepentingan rakyat. “UGM kampus kerakyatan, bukan kampus kapitalis,” imbuhnya.
Menurut Dr.Paripurna, S.H.,M.Hum., LL.M., buku yang diberi judul “Hukum yang Berkeadilan dan Menyejahterakan : Sumbang Saran Pemikiran untuk Indonesia Baru” membutuhkan upgrade dan penajaman karena telah terjadi perkembangan sejak proses penulisannya di tahun 2014. Walaupun demikian, buku ini diakui oleh Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat, M.Ec yang hadir sebagai pembahas, sebagai sebuah entry point yang bagus serta lengkap mengutarakan permasalahan. Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini berpesan bahwa dalam pembuatan peraturan harus dikembalikan lagi pada semangat bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. “Indonesia memang bangsa plurarisme, namun harus tetap bersatu”, ujarnya.
Sementara itu, Dr. Arie Sudjito, S.Sos., M.Si., yang juga hadir sebagai pembahas mengapresiasi buku bersampul putih ini karena dapat menyadarkan pembaca bahwa ada masalah yang harus dibicarakan dan mengharuskan adanya tindakan secara praksis. Ide- ide mengenai pemecahan masalah bangsa harus terus dicetuskan para akademisi dengan diikuti terbentuknya suatuepistemic community. “Tempat dimana idealisme berproses itu jauh lebih penting,” tandasnya. Sosiolog yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini berharap kedepannya dapat diadakan suatu diskursus terpisah yang membahas tentang ketidakadilan karena tidak mungkin mengetahui wujud keadilan tanpa memahami apa itu ketidakadilan.
(Fardi/Lita)