Panel berjudul “Timor Leste-Indonesia Reconciliation” menjadi penutup dari rangkaian acara Timor Leste – Indonesia Workshop at the AAS-in-Asia 2024. Acara ini sukses digelar di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA), Centro Nacional Chega! (CNC) Timor-Leste, dan Fakultas Hukum UGM. Pada acara yang digelar pada Senin (8/7/2024), para ahli dan peneliti dari berbagai institusi internasional dan nasional berkumpul untuk membahas proses rekonsiliasi antara Indonesia dan Timor Leste.
Panel yang dimoderatori oleh Lia Kent dari Australian National University ini menghadirkan narasumber terkemuka seperti Hugo Fernandes (CNC, Timor-Leste), Berta Antonieta Tilman (peneliti independen, Timor-Leste), Yoseph Yapi Taum (Universitas Sanata Dharma, Indonesia), Fidelis Magalhães (Oxford, UK), Ehito Kimura (University of Hawai’i), Muhadi Sugiyono (UGM, Indonesia), dan Made Supriatma (ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura).
Dalam sesi ini, Hugo Fernandes menekankan pentingnya pengakuan sejarah dan pendidikan jujur bagi generasi muda guna memastikan pemahaman yang mendalam tentang masa lalu. Ia menyoroti peran Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) yang meskipun telah membawa pengakuan resmi dari Indonesia, masih belum sepenuhnya mewujudkan rekomendasi penting seperti reparasi bagi korban.
Berta Antonieta Tilman menyoroti kompleksitas proses rekonsiliasi di Timor Leste, khususnya terkait kekerasan terhadap perempuan selama pendudukan Indonesia. Tilman menyerukan pengakuan sejarah yang tulus serta partisipasi inklusif dalam proses rekonsiliasi, yang penting untuk mencegah pengulangan kesalahan masa lalu.
Senada dengan Tilman, Yoseph Yapi Taum juga menegaskan pentingnya rekonsiliasi yang mencakup keadilan transisi, baik melalui mekanisme formal maupun adat, untuk menyatukan masyarakat yang terpecah dan mencegah konflik lebih lanjut. Ia juga menekankan perlunya hubungan harmonis antara Indonesia dan Timor Leste demi perdamaian berkelanjutan.
Fidelis Magalhães menyoroti perlunya rekonsiliasi yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya di tingkat elit. Ia juga menekankan pentingnya menjaga konsistensi antara retorika politik dan kebijakan rekonsiliasi, serta memperhatikan dinamika politik yang terus berkembang.
Ehito Kimura, dalam paparan tentang keadilan transisi dan ingatan kolektif, mengungkapkan bahwa meskipun ingatan publik tentang pelanggaran masa lalu semakin memudar, pendekatan hukum masih bisa menjadi bagian penting dari proses rekonsiliasi yang bermakna di Indonesia.
Muhadi Sugiyono berbicara tentang pendekatan pragmatis yang diambil dalam rekonsiliasi Indonesia-Timor Leste, dengan fokus pada keadilan restoratif. Ia juga menekankan pentingnya keanggotaan Timor Leste di ASEAN sebagai langkah untuk memperkuat rekonsiliasi dan mendorong perkembangan politik positif di kawasan ini.
Menutup sesi diskusi, Made Supriatma menegaskan bahwa tanpa keadilan, rekonsiliasi sejati antara Indonesia dan Timor Leste tidak akan tercapai. Ia mengkritik budaya impunitas yang masih kuat di Indonesia, di mana para pelanggar hak asasi manusia tidak dihukum dan justru terus memegang kekuasaan, menghambat upaya rekonsiliasi yang sejati.
Workshop ini berhasil menggambarkan tantangan dan harapan dalam proses rekonsiliasi antara Indonesia dan Timor Leste, menegaskan bahwa meskipun telah banyak kemajuan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai rekonsiliasi yang sepenuhnya adil dan inklusif bagi kedua negara.