Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (KMMIH) Universitas Gadjah Mada (Kampus Jakarta) menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Danantara: Quo Vadis Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Realitas Pengembangan Bisnis BUMN” pada Sabtu (26/7/2025). Seminar ini menjadi ruang intelektual penting dalam mempertemukan gagasan hukum, korporasi, dan kebijakan negara dalam konteks kelahiran Danantara sebagai entitas pengelola BUMN. Bertempat di Auditorium Lantai 9 UGM Kampus Jakarta, acara yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 13.00 WIB ini dihadiri oleh akademisi, mahasiswa, praktisi hukum, serta pejabat publik yang tertarik pada masa depan tata kelola BUMN Indonesia di bawah kerangka hukum terbaru. Dalam sambutannya Ketua KMMIH, Razikin, S.H., menyampaikan bahwa seminar ini sebagai wujud peran kongkrit mahasiswa dalam merespon persoalan bangsa dan menjadi ruang untuk menyuarakan aspirasi sekaligus rekomendasi menuju tata kelola pengelolaan BUMN yang lebih baik.
Seminar ini menghadirkan narasumber dengan latar belakang akademik dan profesional yang kuat, yakni Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. (Dosen Fakultas Hukum UGM), Pramudya A. Oktavinanda, Ph.D. (Managing Partner UMBRA Strategic Legal Solutions), dan Febri Diansyah, S.H., M.H. (Managing Partner Diansyah Law Firm). Ketiganya hadir membahas berbagai dimensi atas relasi antara pertanggungjawaban keuangan negara dan realitas pengelolaan bisnis oleh BUMN pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025. Seminar ini dimoderatori oleh Zamzam Mashan, S.H., M.H., alumnus MIH UGM (Kampus Jakarta), yang juga aktif dalam kajian kebijakan publik.
Paparan pertama disampaikan oleh Dr. Hendry Julian Noor yang membawa peserta untuk melihat ulang dasar konseptual dari apa yang disebut sebagai “keuangan negara.” Hendry menjelaskan bahwa dalam diskursus hukum keuangan publik, selama ini berkembang dua pendekatan, yaitu pendekatan sempit yang hanya membatasi keuangan negara pada APBN dan pendekatan luas yang juga memasukkan kekayaan BUMN ke dalam ruang lingkup keuangan negara. Namun, menurut Hendry, dalam konteks pertanggungjawaban hukum pidana, pendekatan yang terlalu luas akan sangat berisiko menimbulkan kriminalisasi atas kebijakan bisnis yang sah. Ia menekankan bahwa kekayaan BUMN adalah kekayaan entitas yang telah dipisahkan dari negara sebagai pemilik modal, sehingga setiap kerugian bisnis tidak dapat serta-merta diperlakukan sebagai kerugian negara.
Secara lebih rinci, Hendry mengkritisi penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang sangat abstrak dan luas cakupannya. Menurutnya, rumusan tersebut cenderung menjerat direksi BUMN secara sewenang-wenang, meskipun keputusan bisnis telah dilakukan secara wajar dan rasional. Ia menggarisbawahi pentingnya keberadaan doktrin Business Judgment Rule (BJR) dalam hukum pidana ekonomi, agar pengurus BUMN yang bertindak dengan iktikad baik, bebas konflik kepentingan, dan berdasarkan prinsip kehati-hatian, tidak serta-merta dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Melalui kajian atas berbagai putusan pengadilan, Hendry memperlihatkan bagaimana BJR mulai diakui sebagai prinsip penting dalam mengevaluasi unsur “melawan hukum” atau “kesalahan” dalam perkara korupsi BUMN.
Paparan kedua disampaikan oleh Pramudya A. Oktavinanda, Ph.D., yang secara sistematis menguraikan rekonstruksi struktur tata kelola BUMN di bawah UU 1 Tahun 2025. Menurutnya, pembentukan BPI Danantara sebagai entitas holding investasi dan operasional BUMN merupakan langkah reformis yang strategis, guna menciptakan efisiensi, profesionalisme, dan nilai tambah ekonomi dalam tata kelola aset negara. Pramudya menegaskan bahwa meskipun saham mayoritas BUMN nantinya dimiliki secara tidak langsung oleh Danantara, status hukum badan tersebut tetap sebagai BUMN selama negara masih memegang saham Seri A Dwiwarna yang memberikan hak istimewa.
Pramudya mengulas secara mendalam ketentuan Pasal 4A dan 4B UU 1/2025 yang menegaskan bahwa keuntungan dan kerugian yang dialami BUMN merupakan urusan korporasi dan tidak lagi dikategorikan sebagai bagian dari keuangan negara. Menurutnya, hal ini membuka jalan bagi pendekatan tata kelola yang lebih korporatif dan mengurangi risiko tumpang tindih yurisdiksi antara aparat penegak hukum dan pengambil kebijakan korporasi. Pramudya juga menggarisbawahi bahwa perlindungan terhadap pengurus BUMN melalui prinsip BJR—yang mensyaratkan iktikad baik, kehati-hatian, dan tidak adanya konflik kepentingan—merupakan bentuk perlindungan hukum yang esensial bagi iklim investasi dan kepastian hukum.
Sementara itu, Febri Diansyah dalam paparannya menyoroti problematika implementasi BJR di ranah hukum pidana korupsi. Dengan latar belakang sebagai praktisi hukum yang sering mendampingi perkara korupsi strategis, Febri menyampaikan bahwa belum terdapat standarisasi penerapan BJR dalam sistem peradilan Indonesia. Ia memberikan contoh nyata dari perkara-perkara besar seperti kasus Karen Agustiawan (Pertamina), Hendrisman Rahim (Jiwasraya), dan Hotasi Nababan (Merpati), yang menunjukkan adanya inkonsistensi dalam menilai apakah BJR dapat menggugurkan unsur kesalahan atau melawan hukum.
Febri menekankan bahwa penerapan BJR dalam kasus korupsi harus memenuhi parameter yang ketat, yakni pembuktian bahwa keputusan bisnis diambil berdasarkan analisis rasional, tidak ada kepentingan pribadi, dan adanya upaya mitigasi risiko yang memadai. Ia juga menyampaikan kekhawatiran bahwa selama belum ada panduan yudisial yang mengikat, BJR masih rentan ditafsirkan secara subjektif oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, ia mendorong adanya pembakuan indikator BJR dan penerapannya secara eksplisit dalam pembuktian unsur pidana, agar bisa memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap para pengambil keputusan strategis di BUMN.

Seminar ini menjadi ruang reflektif dan konstruktif dalam memahami secara lebih mendalam tantangan tata kelola BUMN ke depan, serta batasan-batasan pertanggungjawaban pidana dalam ruang kebijakan publik yang berbasis risiko bisnis. Narasi-narasi dari para narasumber menegaskan pentingnya reformasi hukum tidak hanya pada tataran normatif, tetapi juga pada cara berpikir dan pendekatan interpretatif terhadap hukum bisnis negara. Kehadiran lebih dari 150 peserta dari kalangan akademik, mahasiswa, dan praktisi hukum menegaskan besarnya perhatian terhadap isu ini.
Seminar ini juga dirancang tidak hanya sebagai forum ilmiah, tetapi juga sebagai ruang interaksi profesional. Para peserta mendapatkan manfaat tambahan berupa seminar kit, e-sertifikat, sajian ringan, serta informasi eksklusif tentang peluang magang dan kerja dari mitra korporasi yang telah bekerja sama dengan MIH UGM Kampus Jakarta. Acara ini menegaskan komitmen MIH UGM Kampus Jakarta untuk terus menghadirkan kajian hukum yang responsif terhadap perubahan kebijakan, serta mendukung proses transformasi hukum yang adil dan progresif dalam pengelolaan sumber daya negara.
Sebagai bagian dari kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, kegiatan ini juga mencerminkan dukungan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 4 tentang pendidikan berkualitas, dengan menghadirkan forum intelektual yang mendorong pengembangan kapasitas akademik dan profesional. Seminar ini juga menyentuh SDG 16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, melalui pembahasan reformasi hukum yang mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN. Lebih lanjut, dengan membahas implikasi hukum dan kebijakan terhadap investasi dan pengembangan ekonomi nasional, seminar ini turut berkontribusi pada pencapaian SDG 8 tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Detail tentang acara ini dapat disimak di Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=oUsey-_m6qk
Penulis: MIH UGM (Kampus Jakarta)