KMHLi FH UGM Gelar Seminar Nasional: RKUHAP di Persimpangan Reformasi Peradilan dan Penegakan Hukum Berkeadilan

Keluarga Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada (KMHLi FH UGM) kembali menegaskan perannya sebagai ruang produksi wacana kritis penegakan hukum nasional melalui penyelenggaraan Seminar Nasional bertema “RKUHAP di Persimpangan Jalan: Reformasi Peradilan atau Regresi Penegakan Hukum?”. Seminar Nasional ini digelar pada Sabtu (1/11/2025), di Gedung A 5.1.1 Fakultas Hukum UGM. Forum ini menghadirkan figur strategis dari pemerintah, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, advokat, hingga lembaga bantuan hukum, sebuah lanskap dialog yang mempertemukan negara, profesi hukum, dan civil society untuk membedah arah transformasi sistem peradilan pidana Indonesia menjelang pengesahan RKUHAP. Sesi seminar dipandu secara dinamis oleh Hauzan Zaky Rizqullah, S.Tr.K., yang memastikan diskusi berjalan tajam, terarah, dan tetap inklusif bagi seluruh peserta.

Dalam keynote speech-nya, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan bahwa RKUHAP bukan berada pada persimpangan arah, melainkan tengah menapaki jalur pembaruan hukum pidana yang tegas dan terukur untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia sekaligus memastikan efektivitas sistem peradilan pidana. Melalui penekanan pada konsep integrated criminal justice system, diferensiasi fungsi antar-penegak hukum, peran advokat sebagai mekanisme kontrol kewenangan sejak tahap penyelidikan, serta pembatasan penggunaan upaya paksa dan PK bagi jaksa, RKUHAP diarahkan sebagai desain hukum progresif yang menyeimbangkan instrumen negara dengan jaminan hak-hak individu. Integrasi teknologi informasi dalam pemantauan perkara, penguatan pra-peradilan, serta inovasi seperti plea bargaining bagi korporasi menunjukkan komitmen pembaruan yang responsif terhadap tantangan hukum modern. Dengan demikian, gagasan besar yang ditawarkan bukan sekadar perubahan normatif, melainkan penataan kultur penegakan hukum menuju peradilan yang akuntabel, transparan, dan berkeadilan substantif.

Nada progresif serupa muncul dari Polda DIY melalui pemaparan Kombes Pol. Rudy Yulianto, yang menekankan urgensi pembaruan KUHAP guna menjawab kompleksitas kejahatan modern dan dinamika putusan Mahkamah Konstitusi. Ia menyoroti pentingnya rekonstruksi prosedural yang lebih presisi, mulai panggilan saksi hingga penyitaan, agar penegakan hukum mengedepankan kepastian, tidak lagi menyandarkan detail penting pada regulasi sektoral. Selain itu, kehadiran mekanisme restorative justice disebut menjadi instrumen penting mencegah over-capacity lapas sekaligus menghadirkan penyelesaian yang lebih humanis dan responsif terhadap rasa keadilan masyarakat.

Dari perspektif penuntutan, Rini Triningsih, S.H., M.Hum. menjelaskan bahwa tanpa pelibatan jaksa sejak tahap penyelidikan, sistem peradilan pidana akan terus dibayangi oleh praktik bolak-balik berkas (P-19) dan problem koordinasi lintas lembaga. Menurutnya, RKUHAP menawarkan jalan menuju model penanganan perkara yang lebih terintegrasi, transparan, dan menjamin kepastian hingga tahap eksekusi. Dalam konteks ini, kejaksaan tidak sekadar hadir sebagai dominus litis, tetapi sebagai penjaga kualitas pembuktian dan akuntabilitas proses.

Sementara itu, Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M. menyoroti urgensi penguatan fungsi advokat sebagai benteng fair trial. Ia mengkritisi praktik historis yang menjadikan advokat sekadar formalitas dan menegaskan bahwa RKUHAP harus menjamin pendampingan sejak fase penyelidikan untuk menghindari deformasi asas due process of law. Advokat, menurutnya, bukan dekorasi prosedural, melainkan komponen esensial demokrasi hukum yang memastikan negara tidak berubah menjadi Leviathan tanpa kontrol.

Dari puncak piramida kekuasaan yudisial, Hakim Agung Jupriyadi, S.H., M.Hum, menggarisbawahi kebutuhan menata ulang beban perkara kasasi yang terus meningkat. Menurutnya, pembatasan upaya hukum dan penguatan peran hakim pemeriksa pendahuluan merupakan strategi memperkuat kualitas putusan sekaligus menegakkan asas proporsionalitas dalam penggunaan instrumen hukum. Praperadilan, tegasnya, harus tetap menjadi ruang kontrol prosedural tanpa tergelincir menjadi forum yang menunda atau menduplikasi pemeriksaan pokok perkara.

Dari sisi masyarakat sipil, Julian Duwi Prasetya, S.H., M.H. menghadirkan perspektif kritis tentang risiko impunitas dan pentingnya memastikan bahwa sistem hukum tidak tunduk pada logika viralitas. Ia menyinggung kasus dugaan penyiksaan dan kematian Oki di Banyumas sebagai pengingat bahwa pelanggaran HAM tidak hanya lahir dari tindakan aktif, tetapi juga dari kelalaian institusional. Negara, menurutnya, tidak boleh berlindung di balik istilah administratif seperti “diamankan”, karena setiap tindakan, termasuk kelalaian, mengandung konsekuensi hukum dan moral.

Dalam keseluruhan pemaparannya, seminar ini tidak hanya merefleksikan arah kebijakan hukum acara pidana, tetapi juga menempatkannya dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), terutama SDG 16 tentang peace, justice, and strong institutions serta SDG 10 tentang pengurangan ketimpangan akses keadilan. Pembaruan KUHAP diartikulasikan bukan sebagai kerja teknokratik yang steril, melainkan bagian dari agenda pembangunan nasional yang menuntut tata kelola peradilan yang transparan, humanis, dan berbasis HAM. Reformasi hukum acara pidana, dalam visi para narasumber, adalah investasi jangka panjang bagi legitimasi negara hukum dan kepercayaan public dua pilar utama keberlanjutan institusi demokratis.

Seminar ditutup dengan sesi diskusi interaktif dan penyerahan apresiasi kepada narasumber. Melalui ruang dialog kritis ini, KMHLi UGM kembali menegaskan komitmennya sebagai laboratorium intelektual yang mengawal transisi hukum Indonesia menuju masa depan yang lebih adil, transparan, dan beradab.

Penulis: Wika Desta Qatrunada, Hilmi Miftahzen Reza dan Jihan Magina (Keluarga Mahasiswa Magister Hukum Litigasi)

TAGS :  

Latest News

Delegasi SPECIALITY FH UGM Raih Juara 1 dan Best Speaker pada Justice Competition Piala MK RI 2025

Delegasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) berhasil menorehkan prestasi membanggakan dengan meraih Juara 1 Debat Konstitusional Nasional Justice Competition Piala MK RI 2025. …

Lilian G.F. Apituley Raih Gelar Doktor UGM, Kaji Revitalisasi Hukum Adat Tobelo dalam Penyelesaian Kasus KDRT

Lilian G.F Apituley, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Revitalisasi Nilai-Nilai Hukum Adat Tobelo Dalam Penyelesaian …

FH UGM Tingkatkan Literasi Hukum Narapidana Perempuan melalui Penyuluhan Hak Kerja dan Perizinan Usaha

Rabu (29/10/2025), Fakultas Hukum UGM melalui Unit Kerja Pusat Konsultasi Bantuan Hukum (PKBH) bekerja sama dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas IIB Yogyakarta telah sukses …

Scroll to Top