Kamis (19/6/2025), telah berlangsung kegiatan Penyuluhan Hukum bertajuk “Bimbingan Teknis Profesi Orditur Militer Tahun Ajaran 2025”. Kegiatan ini merupakan bagian dari strategi penguatan kualitas sumber daya manusia di lingkungan Babinkum TNI dalam merespons dinamika hukum militer yang kian menantang. Acara ini diinisiasi oleh Badan Pembinaan Hukum TNI, bekerja sama dengan MIH UGM (Kampus Jakarta) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, sebagai mitra akademik yang memiliki kompetensi keilmuan di bidang hukum.
Bimbingan teknis ini difokuskan untuk mendorong peningkatan kompetensi dan profesionalisme para orditur militer dalam menangani perkara pidana, terutama tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dalam pelatihan ini, peserta diberikan pemahaman komprehensif mengenai landasan hukum, ruang lingkup, serta pola-pola korupsi yang kerap ditemui di lapangan. Peserta juga dilatih untuk menyusun strategi penanganan perkara secara sistematis mulai dari tahap penyelidikan hingga penuntutan. Selain itu, materi pelatihan menitikberatkan pada penguasaan teknik penyidikan yang tepat dan pemahaman terhadap penggunaan alat bukti elektronik dalam perkara koneksitas, sebagai respons terhadap tantangan pembuktian hukum di era digital saat ini.
Acara dimulai pukul 08.00 yang diawali sambutan dari Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Sistem Informasi yakni bapak Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A dan di lanjutkan dengan sambutan dari Ketua Badan Pembinaan Hukum TNI yakni Laksda TNI Farid Ma’ruf., S.H., M.H.
Materi pertama dibawakan oleh Richo Andi Wibowo S.H., LL.M., Ph.D. dosen departemen Hukum Administrasi Negara FH UGM yang menyampaikan materi terkait dengan Penanganan Tindak Pidana Pada Sektor Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam sesi diskusi yang disampaikan oleh Richo, pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJP) dipotret sebagai arena yang kompleks, tempat bertemunya berbagai rezim hukum: administrasi negara, perdata, hingga pidana. Ia menyoroti bahwa korupsi dalam pengadaan sering kali berakar dari pelanggaran administratif, seperti rekayasa spesifikasi dan metode tender nonkompetitif, yang kemudian bereskalasi menjadi pelanggaran hukum persaingan usaha dan perdata.
Richo menekankan pentingnya membedakan mana pelanggaran yang murni administratif dan mana yang berpotensi sebagai tindak pidana korupsi. Tidak semua kesalahan prosedural layak dipidanakan, terlebih jika tidak ditemukan niat jahat atau keuntungan pribadi. Dalam praktiknya, sejumlah kasus menunjukkan penegakan hukum yang tidak proporsional, yang dapat menciptakan ketakutan berlebihan di kalangan pejabat pengadaan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan hukum yang lebih hati-hati dan adil, dengan menempatkan konteks dan niat sebagai faktor penting dalam menentukan apakah sebuah pelanggaran merupakan korupsi atau bukan. Diskusi ini menjadi pengingat pentingnya reformasi sistemik dalam PBJP agar pengawasan dan penegakan hukum tidak hanya tegas, tetapi juga adil dan bijak.
Dalam sesi dua yang bertema “Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Koneksitas”, Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, dosen Hukum Pidana FH UGM, mengupas tuntas dinamika penanganan perkara korupsi yang melibatkan unsur militer dan sipil. Diskursus utama terletak pada kejelasan yurisdiksi dan mekanisme koneksitas antara peradilan militer dan peradilan tindak pidana korupsi. Ditekankan bahwa dalam kerangka lex specialis sistematis, perkara korupsi seyogianya ditangani di ranah peradilan tipikor, termasuk ketika melibatkan anggota militer. Dalam praktiknya, muncul tantangan seperti perbedaan vonis dan pendekatan hukum akibat pemisahan (splitsing) perkara yang justru dapat mengancam kepastian hukum. Melalui contoh konkret seperti putusan Tipikor No. 19/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Jkt.Pst, forum ini memperlihatkan pentingnya skema koneksitas sebagai bentuk kewajiban hukum, bukan sekadar kewenangan. Untuk itu, dibutuhkan penguatan koordinasi antara Kejaksaan Agung dan Oditurat Jenderal guna memastikan keterpaduan penanganan. Gagasan koneksitas bukan hanya solusi teknis, melainkan refleksi kebutuhan sistem hukum yang adil dan kohesif bagi negara hukum seperti Indonesia.
Lebih lanjut diskusi mengenai alat bukti elektronik dalam perkara koneksitas menjadi sorotan penting dalam upaya memperkuat sistem peradilan pidana modern. Dalam paparannya, Dr. Sigid Riyanto, S.H., M.Si. menekankan bahwa bukti elektronik kini memegang peranan strategis, terutama dalam menangani perkara yang melibatkan unsur sipil dan militer secara bersamaan. Perkara koneksitas menuntut tata cara pembuktian yang taat asas, namun juga responsif terhadap kemajuan teknologi. Informasi digital, hasil cetak dari dokumen elektronik, hingga intersepsi yang sah, semuanya kini bisa dijadikan alat bukti yang sah apabila memenuhi syarat formil dan materil. Pada aspek koneksitas, KUHAP mengatur agar perkara semacam ini dapat diproses melalui kerja sama lintas institusi antara kejaksaan dan oditurat. Di sinilah pentingnya alat bukti elektronik: sebagai bentuk jawaban atas keterbatasan bukti konvensional, sekaligus sebagai bagian dari reformasi hukum pembuktian yang lebih adaptif dan akurat. Meski demikian, penekanan tetap diberikan pada keabsahan proses perolehan bukti agar tidak melanggar hak asasi. Materi ini menunjukkan bahwa alat bukti elektronik bukan hanya pelengkap, tetapi fondasi dalam mengurai perkara koneksitas yang kian kompleks di era digital.
Melalui kegiatan Penyuluhan Hukum bertajuk “Bimbingan Teknis Profesi Orditur Militer Tahun Ajaran 2025”, ditekankan urgensi peningkatan kapasitas serta profesionalisme aparat penegak hukum di lingkungan militer dalam merespons tantangan hukum yang semakin rumit, khususnya dalam perkara korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa.
Sebagai bagian dari kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), kegiatan ini mendukung SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) melalui penguatan kapasitas profesional aparatur hukum militer; SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh) lewat penguatan sistem hukum yang transparan dan akuntabel; serta SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan) melalui kolaborasi strategis antara lembaga pendidikan dan institusi negara. FH UGM menegaskan komitmennya untuk menjadi mitra aktif dalam membangun sistem hukum nasional yang adaptif dan responsif terhadap tantangan era digital.
Penulis: Ramzy Oansa Ilham (MIH UGM Kampus Jakarta)