Diskusi Mendalam Buku Emplacing Timor Leste di AAS-in-Asia 2024: Penulis Kisho Tsuchiya Tanggapi Beragam Kritik dan Pujian

Senin (8/7/2024), telah berlangsung panel kedua dari rangkaian acara Timor Leste – Indonesia Workshop di AAS-in-Asia 2024 yang bertajuk “Tsuchiya, ‘Emplacing Timor Leste’ Discussion.” Workshop ini merupakan kolaborasi antara Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA), Centro Nacional Chega! (CNC) Timor-Leste, Fakultas Hukum UGM, dan UGM, serta bagian dari AAS-in-Asia Conference 2024 dengan tema “Global Asias: Latent Histories, Manifest Impacts.”

Diskusi panel ini dimoderatori oleh Eunsook Jung dari University of Wisconsin dan menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka dalam bidang sejarah dan studi Timor Leste, termasuk Marisa Ramos Gonsalves dari University of Coimbra, Portugal; Vannessa Hearman dari Curtin University, Australia; Josh Trindade dari University of Melbourne, Australia; David Webster dari Bishop’s University, Canada; Ivo Gonsalves dari Australian National University; dan penulis buku, Kisho Tsuchiya dari University of Kyoto, Japan.

Panel ini berfokus pada buku Kisho Tsuchiya, Emplacing East Timor: Regime Change and Knowledge Production, yang menawarkan kontribusi signifikan dalam pemahaman sejarah Timor Leste melalui berbagai perspektif dan metodologi. Buku ini mengeksplorasi bagaimana Timor Leste dan penduduknya ditempatkan dalam hierarki sosial-politik dan hubungan internasional oleh berbagai komunitas interpretasi. Buku ini juga menekankan pentingnya menjelajahi sumber-sumber sejarah yang beragam dan kritis serta menciptakan narasi sejarah yang inklusif.

Marisa Ramos Gonsalves menantang Tsuchiya mengenai bagaimana dia menempatkan dirinya dalam komunitas interpretasi sejarah dan bagaimana melibatkan lebih banyak sumber sejarah dari komunitas Timor Leste, termasuk sejarah lisan. Vanessa Hearman memuji Tsuchiya atas usahanya memperkomplekskan konsep identitas Timor dengan mempertimbangkan kebijakan Portugis, Belanda, dan Indonesia setelah Perang Dunia II. Hearman menyoroti perlunya penelitian sejarah yang lebih nuansa, berbasis arsip multibahasa, dan melibatkan berbagai pendekatan metodologis.

Josh Trindade memuji buku Tsuchiya sebagai karya yang komprehensif dan memberikan wawasan baru tentang sejarah dan budaya Timor Leste, meskipun terdapat beberapa perbedaan interpretasi mengenai istilah dan struktur politik. Sebaliknya, David Webster menyoroti potensi risiko dari kerangka analisis buku yang bisa mengabaikan agensi Timor dalam menulis sejarah mereka sendiri. Webster juga membahas upaya rekonsiliasi antara Timor-Leste dan Timor Barat serta relevansi konsep “komunitas berbasis bahasa.”

Ivo Gonsalves menyoroti gagasan tentang “sejarah otonom” dalam buku Tsuchiya, mempertanyakan apakah ini merupakan bentuk identifikasi negatif atau upaya untuk menghidupkan kembali sejarah. Dia juga meragukan narasi 450 tahun kolonialisme Portugis dan mengusulkan bahwa pemerintah Timor-Leste saat ini mungkin lebih tepat menggambarkan sejarah sebagai 500 tahun disposesi dan kolonialisme. Gonsalves menekankan pentingnya transfer pengetahuan antara peneliti luar dan pengetahuan lokal serta peran gerakan pembebasan nasional seperti RENETIL dalam strategi perjuangan.

Mengakhiri diskusi, Dr. Kisho Tsuchiya memberikan tanggapan terhadap komentar-komentar yang diberikan. Ia menyampaikan bahwa bukunya tidak hanya ditujukan untuk para ahli, tetapi juga bisa dibaca oleh non-spesialis sebagai sebuah buku cerita. Tsuchiya menjelaskan latar belakang penulisan bukunya yang dipengaruhi oleh pengalamannya sebagai mahasiswa idealis dan petugas PBB di Timor-Leste, serta bagaimana pengalaman tersebut memotivasi dia untuk menulis tentang PBB dan aktivis hak asasi manusia sebagai bagian dari garis keturunan kolonialis.

Tsuchiya mengakui kelemahan dalam bukunya, seperti kurangnya eksplorasi terhadap suara rakyat jelata, dan melihat ini sebagai peluang untuk penelitian lebih lanjut. Ia mendorong mahasiswa muda untuk melanjutkan studi tentang Timor-Leste dengan mengkritisi dan mengembangkan karyanya. Dr. Tsuchiya menutup pidatonya dengan rasa terima kasih dan kebahagiaan atas kesempatan untuk berbagi tentang bukunya dalam acara tersebut.

TAGS :  

Latest News

Dua Mahasiswa UGM Raih Beasiswa ke Leiden Belanda, Belajar Kembangkan Riset Sosio Legal

Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada angkatan 2020, Alfatania Sekar Ismaya dan Raihan Khrisna Amalia, berhasil meraih beasiswa penuh untuk program Erasmus+ International Credit …

Diskusi Pentingnya Proses Demokrasi Dalam Internal Partai Politik, FH UGM Bersama Kemenkumham Gelar Studium Generale

Keberadaan partai politik (parpol) sebagai institusi dalam demokrasi berfungsi untuk menjembatani berbagai kepentingan antar warga negara maupun antara warga negara dengan lembaga-lembaga negara. Dalam hal …

Fakultas Hukum UGM Raih Kenaikan Peringkat dalam QS by Subjects 2024

Sebuah pencapaian bagi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dalam QS World University Rankings (WUR) by Subject. Di tahun 2024 ini, Fakultas Hukum UGM berhasil bergerak …

Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada angkatan 2020, Alfatania Sekar Ismaya dan Raihan Khrisna Amalia, berhasil meraih beasiswa penuh untuk program …

Keberadaan partai politik (parpol) sebagai institusi dalam demokrasi berfungsi untuk menjembatani berbagai kepentingan antar warga negara maupun antara warga negara dengan lembaga-lembaga …

Sebuah pencapaian bagi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dalam QS World University Rankings (WUR) by Subject. Di tahun 2024 ini, Fakultas Hukum …

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar penyuluhan hukum bertajuk Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Pemahaman Hukum Transaksi Adat untuk Mendukung Tujuan Pembangunan …

Scroll to Top