Program Studi Magister Ilmu Hukum UGM (Kampus Jakarta) menggelar acara Seminar Nasional “Problematika Hukum Penerapan Business Judgement Rules di BUMN dalam Perkara Pidana” secara hybrid pada Sabtu (15/2/2025). Kegiatan seminar nasional ini dihadiri oleh akademisi, praktisi, ASN dan professional baik dari pemerintah maupun swasta sebanyak 96 peserta luring dan sebanyak 27 peserta daring.
Acara ini diselenggarakan untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai prinsip Business Judgement Rule (BJR) dalam konteks pengambilan keputusan bisnis di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kegiatan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan hukum yang dihadapi direksi BUMN dalam mengambil keputusan strategis, serta menganalisis penerapan aturan tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, khususnya dalam Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang BUMN.
Melalui seminar ini, diharapkan tercipta ruang diskusi yang konstruktif antara praktisi, akademisi, dan mahasiswa untuk merumuskan solusi terhadap ketidakpastian hukum yang sering dihadapi direksi. Selain itu, kegiatan ini bertujuan memperkaya wawasan mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM (Kampus Jakarta) mengenai dinamika hukum korporasi dan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam bisnis, sehingga mereka mampu berkontribusi secara profesional dan berintegritas dalam pengembangan hukum dan ekonomi nasional di masa mendatang.
Seminar ini sekaligus menjadi upaya Fakultas Hukum UGM dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)poin ke-4 yaitu Pendidikan Berkualitas dengan mendukung penguatan pendidikan tinggi, penyebaran pengetahuan, dan meningkatkan kapasitas akademik serta keterampilan dalam bidang hukum; serta SDGs poin ke-17 yaitu Kemitraan untuk Mencapai Tujuan dengan memperkuat kemitraan antara perguruan tinggi hukum dengan berbagai pihak yang penting untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam sesi pertama, Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S menyampaikan BUMN merupakan badan usaha dengan modal negara yang terpisah, terdiri dari Persero dan Perum. Dosen Pengajar MIH UGM (Kampus Jakarta) tersebut menjelaskan bahwa direksi bertanggung jawab atas pengelolaan BUMN sesuai prinsip GCG. Namun, menghadapi risiko hukum akibat disharmoni hukum publik dan privat, serta potensi kerugian karena tindakan ultra vires. Business Judgment Rule (BJR) melindungi direksi yang bertindak dengan itikad baik, namun penerapannya masih terkendala pemahaman aparat penegak hukum dan perlu reformasi sistem hukum.
Selanjutnya, Bobby R. Manalu, S.H., M.H. menyampaikan bahwa BJR merupakan perlindungan hukum bagi direksi dalam pengambilan keputusan bisnis dengan itikad baik, tanpa konflik kepentingan, dan penuh kehati-hatian. Di Indonesia, penerapannya masih lebih condong ke ranah pidana dibanding perdata, berbeda dengan Amerika Serikat. Ketidakpastian penerapan BJR dan disparitas putusan pengadilan memengaruhi keberanian profesional untuk menjadi direksi. Reformasi hukum diperlukan untuk mendorong penerapan BJR secara konsisten dan adil.
Pada sesi kedua, Prof. Dr. Drs. Paripurna P.Sugarda, S.H., M.Hum, L.L.M. menyampaikan bahwa terdapat tumpang tindih regulasi dalam UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU BPK yang menyebabkan aset BUMN dianggap bagian keuangan negara, bertentangan dengan prinsip Business Judgment Rule. Disharmoni ini menghambat pengambilan keputusan bisnis dan inovasi direksi karena kekhawatiran risiko hukum. Putusan MK menegaskan bahwa aset BUMN merupakan aset perusahaan, bukan negara, memberikan kepastian hukum dan ruang profesionalisme bagi pengelolaan bisnis BUMN.
Asisten Deputi PUU Kementerian BUMN, Dr. Anas Puji Istanto menyampaikan bahwa BJR dalam BUMN masih menghadapi tantangan implementasi, dengan 96% putusan terkait aset bermasalah antara milik negara atau BUMN. Meskipun BJR bertujuan melindungi keputusan bisnis berbasis profesionalisme, hanya tiga putusan membahasnya secara spesifik. Judicial review menunjukkan perlunya kepastian hukum agar direksi tidak terhambat dalam pengambilan keputusan strategis. BUMN tetap memikul peran penting menjaga stabilitas ekonomi nasional di masa krisis.
Yunan Novaris Arifidianto, S.H., MBA., dari EVP Corporate Secretary & Communications PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), menjelaskan BJR mengacu pada pelaksanaan wewenang direksi dan komisaris sesuai UU dan AD/ART perusahaan, dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tanpa benturan kepentingan. Dalam bisnis, perlu mempertimbangkan faktor politik, ekonomi, sosial, lingkungan, teknologi, dan hukum. Risiko bisnis seperti pasar, operasional, dan hukum harus dimitigasi melalui regulasi, mediasi, dan strategi keuangan. Mitigasi efektif memberi BUMN keunggulan kompetitif serta manfaat ekonomi dan finansial.
Selanjutnya, Dr. H. Maqdir Ismail, S.H., LL.M. menyampaikan Praktik Business Judgment Rule (BJR) di Indonesia masih belum diakui secara konsisten, seperti kasus Jiwasraya yang merugikan BUMN 40 triliun. Perdebatan muncul akibat disharmoni regulasi, terutama Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara. Revisi UU BUMN 2025 menegaskan aset BUMN bukan kekayaan negara, dan direksi terlindungi jika bertindak dengan itikad baik. Amandemen terhadap UU Keuangan Negara dan UU Tipikor diperlukan untuk kepastian hukum bisnis BUMN.
Seminar ditutup oleh Dr. Sigid Riyanto, S.H., M.Si.. Seminar ini diharapkan dapat menjadi wadah yang bermanfaat bagi seluruh peserta untuk memahami lebih dalam mengenai penerapan prinsip Business Judgement Rule dalam praktik bisnis di BUMN. Dengan melibatkan akademisi, praktisi, dan mahasiswa, seminar ini tidak hanya membuka wawasan baru, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan hukum bisnis di Indonesia. Diharapkan, melalui diskusi dan pemahaman yang diperoleh, para peserta dapat mengambil peran aktif dalam mendukung terciptanya iklim bisnis yang sehat, akuntabel, dan berintegritas demi kemajuan ekonomi nasional di masa depan.
Penulis: Debby Citra Dewi (MIH UGM Kampus Jakarta)