Pusat Kajian Law, Gender, & Society Fakultas Hukum UGM (LGS FH UGM) diundang oleh ASEAN Studies Centre bersama dengan Kingdom of Netherlands untuk berpartisipasi dalam Consultation Session untuk ASEAN Post-2025 Vision. Kegitan tersebit diselenggarakan pada Jumat (1/11/2024). Kegiatan diikuti oleh 45 organisasi masyarakat sipil serta para perwakilan pemerintah daerah, ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC), serta unsur akademisi dan jurnalis. LGS FH UGM diwakilkan oleh Muhammad Ryandaru Danisworo S.H., LL.M dan Annisa Ayuningtyas S.H., LL.M selaku peneliti.
Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka menjaring pendapat para pemangku kepentingan terkait arah kebijakan ASEAN post-2025, khususnya terkait isu yang dihadapi oleh perempuan dan anak. Kegiatan ini dimulai dengan pemaparan terkait kerangka peraturan dan kebijakan yang telah dimiliki oleh ASEAN, khususnya lewat ACWC terkait isu perempuan dan anak. Setelah itu, para partisipan diminta untuk melakukan diskusi dan manyampaikan pendapat terkait tren isu yang dihadapi oleh perempuan dan anak di Indonesia, serta pendapat terkait peran ASEAN dalam merespons permasalahan tersebut dan juga tantangannya.
Muhammad Ryandaru menyatakan bahwa perempuan dan anak memiliki kerentanan terhadap kekerasan dan diskriminasi dalam segala tingkat personal, komunal, struktural, dan bahkan dalam tingkat global. Dalam merespons permasalahan tersebut, ASEAN dapat mengambil peran dengan mendorong pertukaran informasi antara negara terkait best practice dan juga terkait data yang dapat digunakan untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan, khususnnya kekerasan pada kejahatan transnasional seperti perdagangan orang atau kekerasan terhadap buruh migran. Selain itu, ASEAN menjadi platform untuk berdialog bagi negara-negara untuk mengambil langkah kolaboratif konkrit dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seperti menjalin perjanjian mutual legal assistance.
Namun Muhammad Ryandaru juga mengatakan bahwa dalam melakukan peran tersebut, ASEAN harus berkolaborasi bukan hanya dengan pemerintah, tapi juga unsur organisasi masyarakat sipil dan juga akademisi. Menimbang kedua unsur tersebut yang dapat mempertajan pemahaman isu yang dihadapi perempuan dan anak, serta membantu ASEAN untuk menkontekstualisasikan upaya-upaya dengan beragam konteks yang ada di berbagai tingkat masyarakat Indonesia. Beberapa partisipan juga memberikan pendapatnya seperti UPTD PPA Yogyakarta, Beranda Migran, Jurnalis, Rifka Annisa, dan lain-lain. Kegiatan diakhiri dengan moderator memaparkan beberapa kesimpulan dari sesi konsultasi.
LGS berterima kasih kepada ASEAN Studies Centre yang telah memberikan undangan. LGS akan terus berkomitmen dalam berpartisipasi dalam segala upaya oleh segala institusi untuk mengembangkan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. Dalam konteks tersebut, LGS berkontribusi pada pewujudan UN Sustainable Development Goals 5 (Kesetaraan Gender), 10 (Penurunan Kesenjangan) dan 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh).
Penulis: Muhammad Ryandaru Danisworo S.H., LL.M (Peneliti LGS)