Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) selenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Studi Empirik Pemantauan dan Peninjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan” pada Jumat (8/9/2023) di Ruang 3.1.3 Fakultas Hukum UGM. Kegiatan yang bekerja sama dengan Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM ini sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke 16 yaitu perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh.
FGD dibuka dengan sambutan dari. Kepala Bagian Sekretariat Panitia Perancang Undang-Undang, Sri Wahyuni, S.E.. Melalui sambutannya, Sri Wahyuni berharap kegiatan FGD ini dapat berjalan dengan hikmat dan menghasilkan output yang baik, terutamanya demi perbaikan penyelenggaraan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU AP) yang menjadi topik bahasan utama. Kemudian, kegiatan dilanjutkan dengan sambutan dari Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Sistem Informasi Fakultas Hukum UGM, Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A.. Dalam sambutannya Jaka Triyana sangat mengapresiasi terselenggaranya kerja sama antara DPD RI dengan Fakultas Hukum UGM melalui pengadaan kegiatan FGD.
Pembukaan diskusi antara para pembicara dengan peserta FGD dipimpin oleh Virga Dwi Efendi, S.H., LL.M. selaku moderator. Rangkaian diskusi dimulai dengan materi pemantik dari pembicara pertama, yakni Dr. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., Ph.D selaku Kepala Departemen Hukum Administrasi Negara FH UGM. Dalam paparannya, Richo Andi sangat menekankan perihal kesalahan-kesalahan fundamental dalam menafsirkan beberapa kata yang dicantumkan pada pasal-pasal UU a quo baik dalam norma asli UU AP maupun norma setelah adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK). Berdasarkan hasil analisis terhadap substansi UU AP, Richo Andi menjelaskan bahwa terdapat disharmonisasi antara konsep-konsep hukum khususnya hukum administrasi negara dengan redaksi yang terlembagakan dalam norma UU AP. Kesalahan-kesalahan fundamental dari UU AP meliputi kesalahan yang bersifat sepele hingga yang sifatnya substantif. Misalnya saja UU AP seakan tidak dapat membedakan mana itu ‘peradilan’ dengan ‘pengadilan’ seperti halnya terdapat pada Pasal 1 angka 18 (Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara). Hal ini akan menjadi tidak pas ketika suatu sengketa harus diselesaikan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Lebih lanjut, Richo Andi menjelaskan mengenai konsep regulasi yang bermasalah pada penggunaan diksi “penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 17 UU AP. Kata “penyalahgunaan wewenang” yang notabene kategori pelanggaran serius dalam ilmu hukum diposisikan ke dalam tiga sub parameter (melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang, bertindak sewenang-wenang) yang derajat pelanggarannya bervariasi. Terminologi mencampuradukan wewenang juga dianggap bermasalah, karena terminologi yang ada di barat adalah “misuse of power” – atau realisasi penggunaan kewenangan dengan peruntukan yang berbeda dengan tujuan pemberian kewenangan. Sehingga penggunaan kewenangan sejatinya sudah dianggap salah, jika pelaksanaan kewenangan “berbeda”, tanpa peduli apakah kewenangan itu berbasis satu sumber norma ataukah lebih dan “campur aduk”. Richo juga mencermati tentang problem penerapan fiktif positif akibat UU CK.
Diskusi dilanjutkan dengan materi kedua dari Dr. Yance Arizona, S.H., M.A., selaku Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM FH UGM. Dalam materinya, Yance Arizona menyampaikan terkait dengan pokok materi yang krusial dalam substansi UU AP, yakni mengenai Diskresi, Konflik Kepentingan, dan Asas Fiktif-Positif yang termasuk ke dalam bagian bagian yang menjadi isu pembaharuan melalui UU AP ini. Menurut Yance Arizona, salah satu permasalahan mendasar dari norma UU AP yakni tidak adanya pernyataan atau kejelasan apakah suatu keputusan atau pun tindakan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan suatu diskresi. Bahkan, dalam praktiknya aturan mengenai diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan seringkali diabaikan oleh Pejabat Pemerintahan dalam membuat kebijakan dan tindakan yang sifatnya diskretif. Pembenahan UU Administrasi Pemerintahan ini harus sejalan dengan undang-undang yang lain, khususnya UU ASN dan UU PTUN.
Guna menambah perspektif empirik, FGD ini turut menghadirkan Kepala Perwakilan Ombudsman RI Wilayah DIY, Budhi Masturi, S.H., M.Sc. Berdasarkan keterangan dari Budhi Masthuri, Ombudsman RI wilayah DI Yogyakarta mendapatkan beberapa temuan terkait adanya ketidakpatuhan beberapa kepala daerah terhadap keputusan BPASN terkait mekanisme pemberhentian ASN yang mana kondisi seperti ini termasuk penyimpangan terhadap norma-norma yang terkandung dalam UU AP mengenai kewenangan diskresi oleh Pejabat TUN dalam hal ini adalah kepala daerah.
Sebagai diskusi penutup, Pradhikna Yunik Nurhayati, S.I.P., MPA., selaku Dosen Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM memaparkan materi mengenai hubungan antara materi UU AP dengan dasar-dasar Etika dan Akuntabilitas Sektor Publik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Pembenahan materi UU AP nantinya, konsep etika dan akuntabilitas pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan harus termanifestasikan dalam rumusan pasal-pasal UU AP. Pradhikna menekankan bahwa keputusan atau tindakan diskretif pemerintah yang diatur dalam UU AP seharusnya mengutamakan kebermanfaatan bagi masyarakat, dapat dipertanggungjawabkan, dan tentunya sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
Sebagai penutup kegiatan FGD, moderator menyampaikan bahwa kegiatan FGD kali ini dapat menjadi pemantik pertama untuk pengadaan kegiatan FGD serupa karena sudah seharusnya pembahasan terkait dengan UU AP tidak dapat diselesaikan hanya dalam satu hari saja. Moderator juga menyampaikan bahwa dari diskusi ini akan muncul sumbangsih pemikiran dan masukan yang sangat berharga bagi Pemerintah (dalam hal ini DPD RI) untuk menyempurnakan dan mengevaluasi kembali rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah (UU AP).
Penulis: Departemen Hukum Administrasi Negara
Editor: PR