Di tengah rutinitas akademik yang penuh dengan tugas, mahasiswa terkadang lupa bahwa hukum tidak semata-mata berbicara tentang pasal-pasal dan ayat-ayat. Ia juga tentang manusia. Itulah semangat yang diusung Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter Universitas Gadjah Mada (LC UGM) melalui penyelenggaraan ALSA Care Legal and Coaching Clinic (CLCC) 2025 , sebuah rangkaian kegiatan yang bukan hanya informatif tapi juga penuh dengan empati.
Pada tahun ini, ALSA LC UGM sukses menyelenggarakan rangkaian acara ALSA CLCC LC UGM 2025 dengan tema “Empowered to Be Heard, Protected to Be Healed.” CLCC merupakan salah satu program kerja dari ALSA LC UGM yang tahun ini menyoroti pemenuhan hak kesehatan bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) serta berupaya untuk memperluas dan mendorong strategi kolaborasi untuk mewujudkan layanan HIV/AIDS yang berkelanjutan.
Kegiatan dari ALSA CLCC LC UGM 2025 terdiri dari beberapa rangkaian utama, yakni Pre-Event, Social Event, dan Legal Event. Ketiga rangkaian ini dibuat untuk saling melengkapi dimulai dari peningkatan kesadaran publik tentang isu, pemberdayaan komunitas, hingga advokasi.
Pre-Event
Pre-Event CLCC tahun ini dipecah menjadi dua aktivitas. Pertama, Booth HIV Awareness yang digelar pada Senin (29/9/2025) – Selasa (30/9/2025) yang dilaksanakan di Kantin Filsafat UGM. Booth tersebut dilengkapi dengan photobooth, spin the fact wheel, dan pembagian pamflet yang bersifat edukatif. Tujuan dari booth tersebut adalah untuk meningkatkan literasi dan informasi mahasiswa mengenai HIV/AIDS dengan cara yang edukatif dan interaktif.

Kedua, Fun Walk bersama teman-teman Yayasan Victory Plus Yogyakarta sepanjang jalan Tugu Golong Gilig pada Minggu (19/10/2025). Rangkaian acara ini menunjukan langsung kepada publik bahwa semua orang berhak hidup sehat dan bebas dari stigma yang negatif. Fun Walk ini bertujuan untuk melaksanakan semangat “Zero New Infection, Zero Discrimination, Zero AIDS-related Death” sebagai dari target nasional Three Zero yang juga ditekankan oleh pemerintahan pusat melalui berbagai regulasi kesehatan, termasuk UU Kesehatan No. 17/2023 dan Perda DIY No. 3/2023 tentang penanggulangan HIV/AIDS
Social Event
Social Event yang berlangsung pada Sabtu (1/11/2025) merupakan kegiatan yang sangat human-centered. Kegiatan ini dibagi menjadi dua sesi, pertama adalah journaling session yang dipandu oleh Claudia Zulfiana S.Psi., M.Psi., Psikolog, seorang psikolog profesional. Pada rangkaian ini, teman-teman Yayasan Victory Plus belajar untuk berdamai dan ikhlas dengan diri sendiri melalui refleksi terpimpin dan sharing session. Lalu dilanjutkan dengan crafting session membuat bag charm, aktivitas yang terlihat sangat sederhana. Namun diyakini dapat menghangatkan kegiatan serta memberikan ruang aman bagi teman-teman Yayasan Victory Plus untuk mengeksplor kreativitasnya.
Social Event ini diselenggarakan bersama HPU FH UGM dan Yayasan Victory Plus Yogyakarta, salah satu LSM yang berperan penting selama ini dalam melakukan pendampingan psikososial, tracking pasien yang putus dari ARV, edukasi, hingga konseling pasangan ODHA. Yayasan Victory Plus selama ini menggantung hidupnya dari hibah Global Fund. Hibah yang sekarang terancam berhenti akibat kebijakan donor internasional, khususnya dari Amerika Serikat, yang memutuskan untuk menghentikan sebagai besar pendanaan kesehatan global melalui USAID. Melalui ancaman ini, kita bisa melihat betapa rapuhnya dukungan terhadap ODHA, jika pendanaan internasional terhenti.
Legal Event
Puncak rangkaian dari kegiatan ALSA CLCC UGM 2025 terletak pada Legal Event. Rangkaian acara ini dikemas dalam bentuk talkshow yang digelar pada Selasa (4/11/2025) di FH UGM dengan tema “Reducing the Gap in Health Rights through Government Strategies for Sustainable HIV/AIDS Care.” Bersama dengan tiga narasumber yaitu Prof. dr. Yanri Wijayanti Subronto, Ph.D., Sp.PD-KPTI selaku klinisi sekaligus akademisi yang berfokus pada penyakit menular seperti HIV/AIDS, drg. Emma Rahmi Aryani, M.M., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, dan dr. Ari Kurniawati, MPH. Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Menular dan tidak Menular Dinas Kesehatan DIY. Pada sesi ini, para narasumber membedah isu HIV/AIDS melalui policy perspective dan pengalaman nyata dari tenaga medis.

Hasil dari diskusi menegaskan dan sekaligus memperkuat bahwa stigma masih menjadi hambatan yang paling besar dan mendasar dalam tahap Suluh, sebab temuan pada Policy Brief menunjukan 71% studi cross-sectional mencatat hubungan signifikan antara stigma dan ketidakpatuhan terhadap terapi ARV. Stigma negatif ini membuat ODHA ragu melakukan tes, takut membuka statusnya dan kemudian terlambat dalam mengakses pengobatan. Peristiwa tersebut berdampak langsung pada tahap Temukan, dimana populasi yang perlu dirangkul, tetap menjadi kelompok yang paling sulit ditemukan akibat berbagai hambatan sosial, administratif, serta finansial. Hal ini menyebabkan banyak kasus baru akhirnya terdeteksi ketika sudah memasuki stadium akhir, menunjukan betapa masih jauhnya upaya skrining yang efektif di lapangan.
Pada tahap Obati dan Pertahankan, permasalahan semakin kompleks karena langsung berkaitan dengan keberlanjutan pendanaan dan koordinasi antara lembaga/instansi. Meskipun Indonesia telah memproduksi ARV secara domestik, ancaman dari efisiensi APBN dapat menurunkan stabilitas distribusi obat di daerah seperti DIY. Sementara itu, pada tahap Pertahankan juga kerap ditemukan permasalahan akibat koordinasi lintas wilayah yang masih belum optimal. Menghasilkan angka lost to follow-up yang tinggi, bahkan beberapa diantaranya dipicu oleh stigma dari instansi/pelayanan kesehatan itu sendiri. Kegiatan Legal Event ini pada akhirnya bertujuan untuk mempertegas bahwa HIV/AIDS bukan sekedar penyakit pada umumnya, tetapi meliputi masalah lebih besar yang menuntut adanya sinergi dalam melakukan kebijakan, bentuk dukungan sosial, dan respon cepat dari pemerintah yang berkelanjutan.
Policy Brief ALSA LC UGM 2025 menyoroti tema “Strategi Pembiayaan HIV/AIDS untuk Menutup Kesenjangan Hak Kesehatan” yang membahas urgensi krisis pendanaan layanan HIV/AIDS di DIY akibat potensi penarikan donor asing yang selama ini menjadi tumpuan utama keberlanjutan program kesehatan bagi orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Ketergantungan terhadap hibah Global Fund menghadirkan risiko serius jika tidak segera disiapkan strategi transisi yang matang. Dalam analisisnya, para penulis juga menemukan hambatan besar pada penerapan strategi STOP (Suluh, Temukan, Obati, Pertahankan), khususnya pada aspek stigma, skrining dini, stabilitas distribusi obat ARV, dan tingginya angka berhenti berobat (lost to follow-up).
Sebagai solusi, policy brief ini merekomendasikan untuk menyusun strategi kemandirian pendanaan melalui mekanisme inovatif seperti “Zimbabwe AIDS Levy”, yakni skema pengumpulan dana dari pajak tertentu yang dikelola secara transparan dan dialokasikan bagi keberlanjutan pendampingan serta layanan HIV/AIDS. Selain itu, pendekatan kemanusiaan juga dianggap krusial melalui penerapan pelatihan Popular Opinion Leaders (POL) bagi tenaga kesehatan guna mengubah budaya pelayanan dan menekan diskriminasi. Diharapkan rekomendasi ini dapat mendorong langkah preventif pemerintah daerah agar Yogyakarta mencapai target bebas AIDS pada tahun 2030 tanpa bergantung pada pendanaan luar negeri. Untuk keseluruhan Policy Brief dapat diakses melalui bit.ly/PolicyBriefALSACLCCLCUGM.
Rangkaian kegiatan ALSA CLCC 2025 memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui berbagai bentuk edukasi, advokasi, dan pemberdayaan komunitas. Program ini mendukung SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera) dengan meningkatkan literasi kesehatan publik, memperkuat pemahaman mengenai HIV/AIDS, serta mendorong layanan kesehatan yang berkelanjutan bagi ODHA. Dalam konteks pendidikan, kegiatan ini juga memperkuat SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) melalui penyediaan ruang pembelajaran berbasis bukti yang inklusif bagi mahasiswa maupun masyarakat. Upaya melawan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA turut berkontribusi pada SDG 10 (Mengurangi Kesenjangan), dengan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan setara bagi kelompok rentan. Selain itu, penyusunan policy brief, dialog multipihak, dan advokasi kebijakan yang dilakukan sejalan dengan SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh), karena memperkuat tata kelola kesehatan yang adil dan responsif. Seluruh kegiatan ini juga memperlihatkan kekuatan kolaborasi antarlembaga, baik organisasi mahasiswa, instansi pemerintah, maupun lembaga pendamping komunitas, sehingga sekaligus mendukung SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan). Dengan demikian, ALSA CLCC 2025 tidak hanya menjadi gerakan edukatif, tetapi juga bagian penting dari kontribusi generasi muda dalam memperkuat pembangunan berkelanjutan.
Penulis: Myiesha Maleyka Gunawan (ALSA LC UGM)




