Diskusi Puskaha Djojodigoeno: “Gugatan Lingkungan Dan Perubahan Iklim: Menapaki Jejak Perjuangan Masyarakat Hukum Adat Awyu Di Hutan Papua”

Jumat (24/11/2023), Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno (PUSKAHA) mengadakan diskusi dengan topik “Menapaki Jejak Perjuangan Masyarakat Hukum Adat Awyu atas Hutan Papua”. Diskusi ini membahas tentang Amici Curiae Brief yang disusun oleh PUSKAHA atas Gugatan Lingkungan dan Perubahan Iklim ke PTUN Jayapura oleh Greenpeace Indonesia bersama dengan Koalisi Selamatkan Hutan Adat papua yang diwakili oleh Hendrikus Woro, sekaligus sebagai Ketua Adat Marga Woro. Gugatan tersebut menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua (DPMPTSP Papua) untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).

Diskusi ini merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke 4 (Pendidikan berkualitas) dan poin ke 15 (Kehidupan atas Tanah).

Pada kegiatan kali ini, PUSKAHA bekerja sama dengan Environmental Law Society (ELS) FH UGM. Acara diskusi berlangsung dengan baik, para peserta cukup antusias menanggapi isu-isu yang dibahas oleh pemantik diskusi, yaitu Daisyta Mega dan Alfatania Sekar, selaku perwakilan dari PUSKAHA. Isu pemenuhan hak masyarakat hukum adat dan hak atas lingkungan menjadi dua hal yang saling berkaitan kuat dalam kasus ini. Oleh karenanya, dalam Amici Curiae Brief ini, PUSKAHA menekankan pembahasan pada beberapa poin sentral, yaitu: pertama, aspek kedudukan masyarakat hukum adat Suku Awyu dan tanah adat/tanah ulayatnya; kedua, aspek prosedural hak atas lingkungan; dan ketiga, komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim global.

Latar belakang gugatan tata usaha negara ini yaitu adanya Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKL) yang dikeluarkan oleh DPMPTSP Papua kepada PT IAL pada 2 November 2021 lalu. SKKL tersebut melintasi sebagian wilayah adat Suku Awyu yang berada di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. Secara objektif, sebagian wilayah yang termasuk dalam delineasi hutan adat Suku Awyu tersebut telah sah dan dapat dibuktikan melalui Peta Partisipatif Wilayah Adat Suku Awyu yang disusun oleh masyarakat Suku Awyu bersama dengan Yayasan Pusaka. Dengan adanya izin yang dimiliki oleh PT IAL tersebut, maka berdampak pada terganggunya ruang sosial yang dihuni oleh Suku Awyu yakni seluas 36.094,4 hektare, berpotensi mengakibatkan hilangnya akses masyarakat hukum adat Suku Awyu akan hak atas tanahnya, serta dampak yang lebih luas yaitu terdegradasinya hutan adat Papua akibat deforestasi. 

Suasana saat diskusi berlangsung.

Penerbitan izin menjadi sumber permasalahan dalam kasus manakala pada kenyataannya diberikan tanpa persetujuan dari masyarakat hukum adat Suku Awyu. Hal tersebut tentu saja menjadi kontraproduktif dengan komitmen Provinsi Papua sebagaimana termaktub jelas dalam beberapa regulasinya yang secara tegas meletakkan kewajiban pada pemerintah daerah untuk konsisten memberikan pemenuhan hak masyarakat hukum adat secara progresif. Benar bahwa izin yang diberikan pada PT IAL terjadi pada tahun 2021 ketika masyarakat adat Suku Awyu belum ditetapkan secara legal formal sebagai masyarakat hukum adat di Papua. Namun, pada bulan Juli 2023 lalu, telah terbit Perda Kabupaten Boven Digoel No. 2 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang meneguhkan Suku Awyu sebagai bagian dari masyarakat hukum adat yang diakui dan dilindungi. Keberadaan Perda Kabupaten Boven Digoel tersebut sejatinya mengindikasikan adanya perubahan kebijakan pemerintah daerah untuk mengakui dan melindungi hak-hak adat atas tanah. Dengan demikian, seharusnya juga akan menjadi faktor dominan yang layak dijadikan referensi hukum dalam menguji legalitas keberadaan izin PT IAL yang juga dikeluarkan oleh DPMPTSP Papua pada kasus ini.

Adapun perjuangan Masyarakat Hukum Adat Suku Awyu menempuh jalur litigasi untuk menuntut serangkaian hak-haknya tersebut tidak dapat dilepaskan dari dinamika “Litigasi Perubahan Iklim”, di antaranya sebagaimana terefleksikan dari Putusan No. 82/G/2023/PTUN.JKT yang secara tegas menolak gugatan PT Megakarya Jaya Raya (PT MJR) selaku Penggugat dan menjadi dalih bagi Pemerintah untuk mencabut izin pelepasan kawasan hutan milik PT MJR. Selain itu, perjuangan pada jalur litigasi ini juga dipengaruhi oleh keberadaan Putusan No. 52/G/LH/2022/PTUN.Bdg yang menjadi landmark dalam konteks litigasi perubahan iklim, yang menyidangkan perkara antara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melawan Kepala DPMPTSP Provinsi Jawa Barat terkait kegagalan AMDAL dalam mempertimbangkan dampak perubahan iklim pada proyek PLTU Tanjung Jati A.

Dengan jalan berpikir ini, harapannya majelis hakim dapat bertindak lebih (beyond the law) dalam merespon kegelisahan nyata yang dialami oleh masyarakat hukum adat Suku Awyu. Sebab, ada begitu besar hak dan kepentingan masyarakat Suku Awyu yang harus dilindungi. Wilayah ulayat Suku Awyu yang dilintasi oleh PT IAL tersebut setidak-tidaknya perlu dipandang sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat, memiliki konektivitas spiritual yang kuat, serta menjadi akses bagi berlangsungnya adat istiadat setempat.

Amici Curiae Brief Puskaha Djojodigoeno dapat diakses disini: http://ugm.id/AmiciMHAAwyu 

 

Author Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno

TAGS :  

Latest News

Seminar Nasional Kolaborasi Prodi Magister Kenotariatan dan Departemen Hukum Perdata

Program Studi Magister Kenotariatan bekerja sama dengan Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan Seminar Nasional pada Selasa (7/5/2024) dengan tema “Perkembangan Hukum Kontrak di …

Angkat Topik Tindak Pidana Korporasi di Bidang Perpajakan, I Made Walesa Raih Gelar Doktor dari Fakultas Hukum UGM

I Made Walesa baru saja mengikuti ujian terbuka doktoral di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada Senin (06/05/2024). Pada ujian ini Prof. M. Hawin S.H., …

Tim Nakamoto Berhasil Raih Juara 3 dalam HIMSLAW Legal Competition BINUS

Denny Wijaya (2021) dan Nicholas Aurelius Karosta (2021) berhasil meraih Juara 3 dalam perlombaan Legal Opinion HIMSLAW Legal Competition BINUS. Kompetisi ini diselenggarakan oleh Prodi …

Program Studi Magister Kenotariatan bekerja sama dengan Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan Seminar Nasional pada Selasa (7/5/2024) dengan tema “Perkembangan …

I Made Walesa baru saja mengikuti ujian terbuka doktoral di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada Senin (06/05/2024). Pada ujian ini Prof. …

Denny Wijaya (2021) dan Nicholas Aurelius Karosta (2021) berhasil meraih Juara 3 dalam perlombaan Legal Opinion HIMSLAW Legal Competition BINUS. Kompetisi ini …

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan kegiatan Guest Lecture “Sharia Economic Dispute Resolution (Comparative Study Between Indonesia and Malaysia)” pada …

Scroll to Top