Inkonsistensi Pembatasan Hak Kasasi dalam Sistem Peradilan TUN

IMG_0709

Pasal 45A ayat (2) huruf c UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA) merupakan dasar pembatasan hak kasasi yang bersifat objektif atas perkara tata usaha negara (TUN). Dalam praktiknya, ketentuan yuridis ini dalam sistem peradilan TUN tidak terbebas dari permasalahan. Agus Budi Susilo, S.H., M.H. ketika mempertahankan desertasinya pada Sabtu (9/4) yang berjudul “Pembatasan Hak Kasasi dan Konsekuensi Hukum bagi Pencari Keadilan dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia” menerangkan bahwa ada inkonsistensi dari pembatasan hak kasasi tersebut.

Hal itu terjadi karena ada perbedaan penafsiran dalam mengartikan pejabat negara dan jangkauan keputusan yang termaktub dalam pasal a quo. Dalam susunan peraturan perundang-undangan, istilah yang dipakai adalah pemerintah daerah. Bahkan bila menilik UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, gubernur, bupati, mau pun walikota, masuk kategori pejabat negara. Berkaitan dengan ruang lingkup, MA sudah membatasi sebagai produk kebijakan desentralisai. Padahal pengertian desentralisasi secara teoritis pun beragam, secara teritorial, budaya, atau norma.

Terdapat dua implikasi yang diuraikan promovendus terkait penerapan pembatasan hak kasasi yang dapat berimplikasi secara negatif bagi para pencari keadilan (justitiabelen). Pertama, ketika perkara TUN yang seharusnya tidak dibatasi, mengalami pembatasan. Kedua, ketika perkara TUN yang terkualifikasi dalam pasal a quo, malah tidak dibatasi. “Kedua hal ini yang dalam praktik tidak ada perlindungan hukum bagi pencari keadilan apabila ketua (pengadilan tingkat pertama) melanggar ketentuan tesebut,” jelasnya saat menjawab pertanyaan Prof. Dr. Muchsan, S.H. selaku promotor ujian terbuka.

Terhadap permasalahan di atas, Hakim Yustisial MA itu berkesimpulan ada beberapa langkah hukum yang dapat diambil agar pengaturan dan pelaksanaan pembatasan hak kasasi dapat memberi perlindungan hukum bagi para pencari keadilan. Salah satunya dengan perumusan ketentuan yang tegas tentang objek TUN apa yang mengalami pembatasan serta bagaimana proses beracaranya. Tujuannya, selain untuk menjamin kepastian hukum juga untuk meningkatkan keadilan substansial dan keadilan prosedural dalam perwujudan peradilan TUN yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. (Jati/Lita)

TAGS :  

Latest News

Komitmen terhadap SDGs, FH UGM dan IIGF Institute terbitkan Buku Refleksi Hukum dan Kelembagaan dalam Pembangunan Infrastruktur

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) bersama IIGF Institute, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, menerbitkan buku Dinamika Hukum dan Kelembagaan dalam Pembangunan Infrastruktur: Bunga Rampai …

Dua Dosen FH UGM Menjadi Narasumber pada Pelatihan Nasional, Tegaskan Komitmen terhadap SDGs

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) melalui para akademisinya turut berkontribusi dalam penguatan wacana penegakan hukum nasional dengan menjadi narasumber dalam Forum Group Discussion …

Advancing The 2026 Agenda, UGM Faculty Of Law Holds Collaborative Meeting With The Yogyakarta High Prosecutor’s Office

Kamis (4/12/2025), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) menyelenggarakan rapat kolaborasi dengan pihak Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY). Rapat kolaborasi tersebut dilaksanakan …

Scroll to Top