Memasuki tahun 2025, Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum UGM (PANDEKHA FH UGM) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Bulaksumur Legal Outlook 2025: Krisis Demokrasi, HAM, dan Pemberantasan Korupsi” pada Jumat (3/1/2025). Diskusi ini diselenggarakan secara kolektif oleh 3 pusat kajian lainnya, yaitu Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT), Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ); dan Pusat Kajian Law, Gender, and Society (LGS); serta 3 departemen di Fakultas Hukum UGM, yaitu Departemen Hukum Tata Negara, Departemen Hukum Administrasi Negara, dan Departemen Hukum Agraria. Diskusi yang diselenggarakan melalui daring ini merupakan forum tahunan untuk merefleksikan perkembangan hukum pada tahun 2024 dan proyeksi pada tahun 2025.
Diskusi diawali dengan pemaparan dari Zainal Arifin Mochtar sebagai Ketua Departemen Hukum Tata Negara yang merefleksikan perjalanan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam rentang tahun 2024 hingga 2025. Menurutnya, sebagai tahun-tahun politik, kedua isu tersebut menjadi momentum paling penting bagi proses perebutan kekuasaan. Namun, perjalanannya tidak terlihat begitu mulus. Hal ini terlihat dari adanya berbagai kecurangan dan pelanggaran sistematis selama proses pemilu maupun pilkada. Meskipun demikian, Zainal Arifin Mochtar menyarankan agar pembenahan pemilu pada masa mendatang tidak hanya berhenti pada pembenahan sistem pemilu seperti penghapusan Presidential Threshold, melainkan juga reformasi dan optimalisasi fungsi partai politik.
Kemudian, Richo Andi Wibowo sebagai Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara merefleksikan tahun 2024 dan proyeksinya pada tahun 2025 dalam paparannya yang berjudul “Legal Outlook 2025: PSN, Hukum Keuangan Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara”. Richo meragukan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun untuk kepentingan umum, karena seringkali PSN digunakan sebagai dalih untuk kepentingan bisnis. Ia juga menyoroti adanya potensi kenaikan pajak pada tahun 2025 akibat pola kebijakan pemerintah yang cenderung menarik uang rakyat dan kebutuhan kabinet yang gemuk. Khusus mengenai peradilan tata usaha negara, Richo mengkritik peradilan ini lantaran gagal menjadi penengah antara masyarakat dengan pemerintah. Ke depan, Richo berharap agar peran peradilan tata usaha negara dapat lebih sentral sebagai pengadil terutama di isu pembangunan dan sebagai penyeimbang eksekutif.
Herlambang Perdana Wiratraman sebagai Ketua LSJ melanjutkan refleksi dan proyeksinya dalam bingkai hak asasi manusia. Melalui pemaparannya yang berjudul “Menguatnya Politik Hukum Represif dan Impunitas (Mengapa Pelanggaran HAM, Represi dan Ketidakadilan Sosial akan Terus Terjadi di Masa Pemerintahan Prabowo Gibran?)”, Herlambang mengkritik upaya penyelesaian HAM yang tidak pernah secara serius dilaksanakan oleh pemerintah dan faktor-faktor di balik itu. Menurutnya, HAM dalam pergantian kekuasaan di era kepemimpinan Prabowo Subianto masih menjadi pusaran komoditas kekuasaan. Implikasinya menurut Herlambang, penegakan hukum akan terus berada dalam posisi yang menguntungkan kepentingan politik rezim atau pemilik modal. Sehingga, kasus-kasus pelanggaran HAM berat tidak akan pernah benar-benar diselesaikan.
Setelah itu, Sri Wiyanti Eddyono sebagai Ketua Pusat Kajian Law, Gender, and Society (LGS) memfokuskan pemaparannya pada konteks penegakan hukum di ranah kekerasan seksual. Sri mengapresiasi lahirnya UU TPKS yang lahir pada tahun 2022, meskipun sebetulnya isu kekerasan seksual bukan merupakan isu yang baru di Indonesia. Menurutnya, isu kekerasan seksual telah ada sejak masa era Kartini yang terlihat dari adanya kawin paksa dan perbudakan seksual di masa penjajahan Jepang. Sri kemudian mengkritik bahwa seringkali isu kekerasan seksual tidak diprioritaskan dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Sebagai contoh, mekanisme penyelesaian HAM non-yudisial tidak memasukkan isu kekerasan seksual.
Selanjutnya, Rikardo Simarmata dari Departemen Hukum Agraria menyoroti problematika agraria dalam pemaparannya yang berjudul “Refleksi dan Proyeksi Masalah Agraria”. Rikardo membahas permasalahan agraria yang tidak hanya meliputi persoalan tanah, namun juga sumber daya alam yang lain seperti hutan, tambang, termasuk pesisir. Menurutnya, rakyat sebagai kelompok pemilik dan penggarap tanah ini menjadi rentan terhadap pelanggaran HAM akibat konflik agraria. Rikardo mengungkapkan bahwa terdapat 2 (dua) penyebab struktural permasalahan agraria, yaitu pandangan bahwa tanah yang tidak bersertifikat merupakan tanah negara dan pergeseran fungsi publik ke privat dari tanah-tanah yang dikuasai pemerintah. Dengan kondisi ini, Rikardo memproyeksikan konflik agraria justru akan terus tereskalasi pada tahun 2025.
Totok Dwi Diantoro sebagai Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) melanjutkan pembahasan dalam perspektif pemberantasan korupsi. Totok mengamati perkembangan komitmen pemberantasan korupsi dalam satu dasawarsa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pelemahan yang struktural dan sistematis terhadap KPK telah terjadi pasca Revisi UU KPK di tahun 2019 yang mengubah posisi KPK tidak lagi menjadi lembaga independen, melainkan lembaga eksekutif di bawah naungan Presiden. Secara lugas, Totok juga menyampaikan kekecewaannya pada pemberantasan korupsi yang cenderung tumpul pada lingkaran dekat koalisi, sehingga pemberantasan korupsi sangat bernuansa politis.
Pemaparan ditutup dengan penyampaian dari Yance Arizona sebagai Ketua PANDEKHA dalam pemaparannya yang berjudul “Mahkamah Konstitusi Bangkit dari Keterpurukan (Catatan Tahun 2024 dan Proyeksi Tahun 2025)”. Yance merangkum perjalanan Mahkamah Konstitusi dalam mempengaruhi kontestasi politik di Indonesia, termasuk juga diawali dengan pembahasan regresi demokrasi global dan pengaruhnya terhadap Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, Mahkamah Konstitusi pada beberapa tahun terakhir menunjukkan kontroversinya seperti Putusan Mahkamah Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan pergantian Ketua MK akibat pelanggaran etik berat. Yance melihat bahwa tantangan ke depan bagi Mahkamah Konstitusi ialah berupa ancaman Revisi UU MK yang dapat merusak independensi peradilan hingga upaya sentralisasi kekuasaan oleh eksekutif yang melumpuhkan lembaga pengawas seperti Mahkamah Konstitusi. Upaya untuk mem-bonsai Mahkamah Konstitusi sempat terlihat dari DPR-RI yang tengah menganulir Putusan MK tentang syarat pencalonan pilkada, namun batal karena respon publik melalui aksi Peringatan Darurat. Oleh karenanya, Yance menganggap bahwa dukungan publik menjadi kunci untuk mengawal Mahkamah Konstitusi.
Secara keseluruhan, diskusi ini bertujuan untuk mendorong perbaikan dan reformasi hukum pada tahun 2025 yang berpijak pada refleksinya di tahun 2024. Hal ini sejalan dengan upaya mendukung pencapaian poin ke-16 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yaitu perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. Selain itu, mendorong pula perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam perjalanan reformasi hukum di tahun-tahun selanjutnya. Semangat reformasi ini sejalan dengan upaya pencapaian poin ke-5 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yaitu kesetaraan gender.
Reporter: Muhammad Kevin Setio Haryanto (PANDEKHA)