TVRI Yogyakarta bersama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menghadirkan program penyuluhan hukum “Pro Justicia” yang kali ini mengangkat tema sensitif dan aktual, yakni “Perkembangan Pengaturan Perkawinan Pasangan Beda Agama di Indonesia dan Implementasinya”. Melalui siaran yang menghadirkan Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si., selaku pakar Hukum Islam UGM, diskusi ini menyoroti dinamika regulasi perkawinan beda agama yang kerap mengalami perubahan serta menimbulkan implikasi terhadap keabsahan, legalitas, dan aspek administratif. Fenomena ini dinilai semakin relevan mengingat praktik perkawinan pasangan beda agama di masyarakat terus meningkat, meskipun masih menghadapi berbagai hambatan hukum dan administratif.
Kegiatan siaran Pro Justicia kali ini dilaksanakan di studio 1 TVRI Yogyakarta dan ditayangkan pada Selasa, 09 September 2025 pukul 15.00 WIB melalui channel TVRI Yogyakarta dan live streaming YouTube TVRI Yogyakarta. Narasumber penyuluhan hukum terdiri dari Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si. selaku Dosen Departemen Hukum Islam Fakultas Hukum UGM, M. Ismail Hamid, S.H., M.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, dan Dra. Septi Sri Rejeki selaku Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta. Selain itu, penyuluhan hukum ini juga dihadiri secara langsung oleh mahasiswa dan masyarakat umum yang turut memberikan pertanyaan kritis pada narasumber.

Dalam penyampaiannya, Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si. menegaskan bahwa perkawinan diatur secara spesifik di UU Perkawinan dan ketentuan tersebut sifatnya lex specialis sehingga sahnya perkawinan merujuk pada ketentuan pada UU Perkawinan, sedangkan pencatatan perkawinan tunduk pada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminitrasi Kependudukan). Namun, dalam pencatatan perkawinan tersebut terdapat disharmonisasi antara Penjelasan Pasal 35 Undang-undang tentang Administrasi Kependudukan yang memberikan ruang bagi pencatatan perkawinan beda agama melalui penetapan pengadilan, sedangkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun 2023 menyatakan “larangan” agar pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Oleh karenanya, solusi ke depannya adalah perlu adanya harmonisasi regulasi, dengan perubahan Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan khususnya penjelasan pasalnya. Pencatatan perkawinan pasangan beda agama akan lebih baik apabila kembali ke rezim UU Perkawinan sebelum terbitnya Undang- Administrasi Kependudukan tahun 2006, sehingga ketika orang melakukan penundukan diri maka perkawinannya bisa dicatatkan, karena yang menjadi objek pencatatatan perkawinan adalah perbuatan dan peristiwa hukumnya bukan agamanya.
Sementara itu, M. Ismail Hamid, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menguraikan bahwa pada tahun 2023 di Pengadilan Negeri Yogyakarta sebelum berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2023 terdapat 4 permohonan izin pencatatan perkawinan beda agama dan 3 dikabulkan dengan dasar Surat Panitera Mahkamah Agung Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 yang mengatur Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan, akan tetapi jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Kemudian, dengan berlakunya SEMA Nomor 2 tahun 2023, mengatur bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan, serta memerintahkan pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Di sisi lain, Dra. Septi Sri Rejeki, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta, menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan pasangan beda agama oleh Disdukcapil baru akan dilaksanakan apabila pasangan tersebut telah memiliki Penetapan Pengadilan, hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dengan adanya pencatatan perkawinan tersebut akan terbit Akta Perkawinan, dan apabila memiliki anak maka akan terbit Akta Kelahiran.
Isu perkawinan beda agama yang diangkat dalam siaran Pro Justicia memiliki keterkaitan erat dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Tema ini mendukung SDG 5 tentang kesetaraan gender, karena menyoroti perlindungan hak-hak perempuan yang kerap menanggung beban sosial maupun administratif akibat tidak diakuinya perkawinan beda agama. Selain itu, kegiatan ini juga relevan dengan SDG 10 mengenai pengurangan ketidaksetaraan, sebab memberikan pemahaman hukum yang dapat meminimalisasi diskriminasi terhadap pasangan maupun anak yang lahir dari perkawinan beda agama. Lebih jauh, diskusi ini turut memperkuat SDG 16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh dengan mendorong harmonisasi regulasi serta memperkuat akses keadilan bagi seluruh warga negara.

Penulis : Dita Elvia Kusuma Putri (Asisten Dosen Departemen Hukum Islam)