Keluarga Muslim Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (KMFH UGM) kembali menyelenggarakan kegiatan penyuluhan hukum melalui program Santai Siang di Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 2 Yogyakarta pada Rabu (3/09/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari hibah pengabdian masyarakat Fakultas Hukum UGM yang bertujuan memperluas literasi hukum di tengah masyarakat. Program ini diinisiasi oleh dua mahasiswa Fakultas Hukum, yaitu Azzahra Dewi Santika (FH 2023) dan Okta Amaliya Fitriana (FH 2024) yang berperan aktif dalam merancang dan melaksanakan kegiatan.
Pada kesempatan ini, penyuluhan hukum mengangkat tema “Bukan Salah Anak: Menelusuri Hak dan Status Anak Luar Nikah di Dua Sistem Hukum.” Tema tersebut dipilih karena isu anak luar nikah masih menimbulkan perdebatan, baik dalam praktik sosial maupun kajian hukum. Penyuluhan menghadirkan Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si., Guru Besar Hukum Islam Fakultas Hukum UGM, yang menyampaikan penjelasan komprehensif mengenai status anak luar nikah dalam perspektif hukum Islam serta dinamika hukum nasional yang mengaturnya.
Dalam perspektif hukum Islam, yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak luar nikah ditegaskan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Ketentuan ini berlandaskan pada prinsip dasar syariat bahwa nasab merupakan hak yang lahir dari perkawinan yang sah. Oleh sebab itu, anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, termasuk dalam hal pewarisan. Prinsip ini sekaligus menegaskan kedudukan hukum perkawinan dalam Islam sebagai satu-satunya jalan yang sah untuk melahirkan hubungan keluarga dan hak-hak perdata.
Di sisi lain, dalam konteks hukum nasional, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 membuka ruang bagi anak luar nikah untuk diakui memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan secara ilmiah dan hukum. Putusan ini dimaksudkan untuk memperluas perlindungan hak-hak anak, terutama dalam hal nafkah dan warisan. Akan tetapi, penerapannya menimbulkan ketidakselarasan dengan hukum Islam yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Perbedaan ini menjadi cermin nyata adanya pluralisme hukum di Indonesia, yang pada satu sisi mengakui syariat Islam sebagai pedoman umat, sementara pada sisi lain menyesuaikan dengan prinsip hukum nasional yang menjamin perlindungan hak asasi anak.
Selain perbedaan status nasab, penyuluhan ini juga membahas mengenai bentuk perlindungan hukum yang dapat ditempuh, salah satunya melalui wasiat wajibah. Mekanisme ini menjadi jalan tengah agar anak luar nikah tetap memperoleh hak atas biaya hidup hingga dewasa, meskipun tidak diakui secara penuh sebagai ahli waris dalam hukum Islam. Wasiat wajibah dipandang sebagai solusi yang tidak menyalahi ketentuan syariat, namun sekaligus memberi perlindungan bagi anak yang lahir di luar perkawinan.
Sesi tanya jawab bersama pendengar menyoroti beberapa permasalahan aktual. Salah satunya mengenai kemungkinan anak luar nikah memperoleh hak waris ketika ayah biologisnya tidak memberikan pengakuan. Jawaban atas pertanyaan ini memperlihatkan adanya kerumitan hukum, karena meskipun bukti biologis dapat diajukan, pengadilan agama tetap berpegang pada KHI yang tidak memberikan hubungan nasab kepada ayah. Pertanyaan lain berkaitan dengan bagaimana mencegah diskriminasi sosial terhadap anak luar nikah. Dalam hal ini, penting ditekankan bahwa Islam menegaskan anak tidak dapat dipersalahkan atas keadaan kelahirannya, sehingga perlakuan yang adil dan penuh kasih harus tetap diberikan. Namun demikian, upaya yang lebih utama adalah pencegahan lahirnya anak di luar nikah dengan menguatkan pemahaman hukum, moral, dan nilai-nilai agama di tengah masyarakat.
Penyuluhan ini juga memiliki kaitan erat dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Tema yang diangkat sejalan dengan SDG 3 mengenai kesehatan dan kesejahteraan, karena mengingatkan masyarakat akan dampak sosial dan psikologis yang dapat dialami anak luar nikah apabila tidak mendapatkan perlindungan. Selain itu, kegiatan ini juga mendukung SDG 16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, dengan memberikan pemahaman hukum yang berpihak pada perlindungan anak sekaligus menegaskan nilai-nilai syariat Islam sebagai bagian dari sistem hukum yang diakui negara.
Lebih jauh, penyuluhan ini berkontribusi pada SDG 4 tentang pendidikan berkualitas karena menjadi sarana literasi hukum bagi mahasiswa maupun masyarakat umum. Kegiatan ini juga terkait dengan SDG 5 mengenai kesetaraan gender, mengingat banyak kasus anak luar nikah yang berdampak langsung pada posisi perempuan, baik sebagai ibu maupun sebagai pihak yang menanggung stigma sosial. Tidak kalah penting, penyuluhan ini mendukung SDG 10 tentang berkurangnya ketidaksetaraan, sebab mendorong masyarakat untuk memperlakukan anak luar nikah secara adil dan tanpa diskriminasi, sehingga hak-hak mereka tetap terlindungi dalam kerangka hukum maupun norma sosial.
Melalui penyuluhan hukum ini, KMFH UGM berupaya menghadirkan edukasi yang berimbang bagi masyarakat, yakni dengan menekankan pentingnya memahami hukum Islam sebagai pedoman normatif umat sekaligus menyadari dinamika hukum nasional yang berkembang. Kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperlakukan anak luar nikah tanpa diskriminasi, sembari terus meneguhkan nilai-nilai agama agar pernikahan tetap menjadi fondasi utama dalam melahirkan dan membesarkan anak. Dengan demikian, tujuan akhir dari penyuluhan ini adalah mewujudkan masyarakat yang adil, saling menghargai, serta sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan konstitusi nasional.
Penulis: Azzahra Dewi Santika (Tim Penerima Hibah Penyuluhan Mahasiswa)