Mahasiswa Prorgam Studi Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (MHBK FH UGM) sukses menyelenggarakan siaran penyuluhan hukum bertemakan “Ojek Online: Hak, Kewajiban, dan Perlindungan Hukum yang Masih Terabaikan”, yang disiarkan melalui stasiun RRI Pro 2 102.5 FM. Siaran penyuluhan hukum yang terselenggara pada Rabu (6/8/2025) tersebut merupakan program kerjasama antara mahasiswa Prodi MHBK dengan Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum FHUGM dan RRI Yogyakarta. Siaran penyuluhan hukum ini bertujuan untuk memberikan edukasi hukum dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, terkhusus dalam hal pelindungan hukum ojek online terkait status hukum dan pemenuhan hak mereka.
Siaran penyuluhan hukum ini menghadrikan dua narasumber. R Rolly Wijayakusuma, S.H., M.H. yang merupakan Managing Partner Rolly & Associates Law Office hadir sebagai narasumber mitra. Sedangkan narasumber tim penyuluh diwalilkan oleh Boyi Well Djon, S.H. yang merupakan mahasiswa prodi MHBK FH UGM. Pelaksanaan kegiatan ini didukung pula oleh Pregrinus Rangga, S.H. dan Retno Wulandari, S.H., yang berasal dari prodi yang sama, sebagai anggota tim penyuluh.
Siaran dimulai dengan sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh penyiar, yaitu “Bagaimana status para driver ojek online di mata hukum?”. Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh Boyi Well Djon, bahwa saat ini secara legal-formal status dari para driver ojek online adalah kemitraan berdasarkan perjanjian kemitraan antara driver dengan pihak aplikator. “Namun, disinyalir hubungan tersebut adalah kemitraan semu. Pertama, pengambilan keputusan penting yang hanya diambil alih oleh aplikator tanpa meaningful participation pengemudi , seperti penentuan tarif, sanksi, bonus, algoritma, dan lain-lain. Kedua, konsep ‘pengendalian semu’ yang kemudian memberikan presurre kepada para pekerja sehingga membentuk budaya kerja di bawah kontrol aplikator“, lanjut Boyi.
Permasalahan selanjutnya menurut Boyi, adalah hingga saat ini masih terdapat loophole atau kekosongan hukum. Karena belum adanya aturan yang jelas mengenai status hukum, serta hak dan kewajiban antara driver ojek online dan pihak aplikator. “Selain mempertimbangkan kondisi internal Indonesia, pembentuk Undang-Undang juga dapat belajar dari negara lain yang lebih dahulu mengatur hal tersebut, seperti Singapura (dengan sistem Platform Workers Framework),” sambung Boyi.
Kemudian, R. Rolly Wijayakusuma melanjutkan diskusi dengan memaparkan bahwa pelindungan terhadap ojek online ini masih berada dalam tataran peraturan pelaksana, dan belum memiliki landasan yuridis yang lebih tinggi. “Pengaturan yang jelas terkait dengan Hak dan Kewajiban adalah muara daripada pelindungan hukum kepada para driver ojek online. Selain itu pengaturan mengenai hal tersebut juga diharapkan dapat menjadi sarana equality atas hak dan kewajiban masing-maasing pihak, baik driver ojek online ataupun pihak aplikator. Urgensi pembentukan aturan ini ke depan adalah membentuk RUU yang akan mengatur secara khusus atau meratifikasi konvensi internasional terkait atau juga bisa belajar dari negara-negara yang telah lebih dahulu mengatur hal ini, sehingga unsur-unsur pelindungan hukumnya terpenuhi. Harus ada pengaturan yang jelas sehingga tidak ada lagi keragu-raguan atau multitafsir yang akan merugikan salah satu pihak yang lemah dalam kemitraan,” papar Rolly.
Kedua narasumber juga sepakat mengenai pentingnya pelindungan hukum terhadap hak-hak yang layak driver ojek online dapatkan, terlepas ke depannya menjadi mitra atau pekerja atau di anatara keduanya. Hak-hak tersebut meliputi hak pekerjaan yang layak, upah yang layak, jaminan sosial (kecelakan, kematian, hari tua, pensiun, dan kesehatan), hak untuk berserikat, dan seterusnya. Namun, arah kebijakan dan regulasi ke depan juga harus tetap mempertimbangkan dampak secara keseluruhan, seperti kelangsungan usaha aplikator, kepentingan konsumen, dan keseimbangan ekosistem ekonomi gig itu sendiri. Oleh karena itu, prinsipnya adalah pelindungan hukum yang diberikan harus bersifat win-win solution bagi hak, kewajiban, dan kepentingan semua pihak terkait.

Kegiatan penyuluhan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif dan manfaat nyata bagi masyarakat, berupa pemahaman dan peningkatan kesadaran hukum mengenai status dan hak-hak yang layak diperoleh driver ojek online. Dengan pemahaman dan kesadaran hukum tersebut masyarakat akan lebih sadar tentang hak dan kewajiban mereka sehingga masyarakat dapat proaktif dalam memperjuangkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Kemudian, masyarakat juga dapat mendorong dan memberikan aspirasi dalam pembentukan regulasi yang membawa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Lebih jauh, siaran penyuluhan hukum ini juga berupaya turut mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), di antaranya SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) dengan siaran penyuluhan hukum yang edukatif dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat; SDG 8 (Pekerjaan yang Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) melalui topik utama siaran yang memaparkan tentang hak-hak yang layak didapatkan oleh driver online dan perjuangan untuk mencapai hal tersebut; dan SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh) melalui dorongan pembentukan regulasi yang menjamin pelindungan hukum bagi pengemudi ojek online dan juga bersifat win-win solution bagi semua pihak, sehingga dapat mewujudkan keadilan dan supremasi hukum.
Penulis: Boyi Well Djon (Mahasiswa Prodi MHBK dan Penerima Hibah Penyuluhan Hukum PKBH Tahun 2025)