Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), menggelar diskusi Bincang-Sore #1 di selasar ruang Auditorium Gedung B pada Jumat (29/8/2025). Diskusi ini mengangkat tema “Dampak Industri Sawit bagi Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Ekologi di Papua Selatan dan Kalimantan Barat”.
Kegiatan ini menghadirkan para penulis buku “Masyarakat Adat dalam Jerat Kerja Paksa: Dampak Perkebunan Sawit di Merauke dan Boven Digoel”, yakni Almonika C.F. Sari, Nailul Amany, Ramadani S.D. Nicholas, dan Kharisma Muhammad, yang menceritakan perjumpaannya dengan pekerja perkebunan sawit yang merupakan orang asli Papua yang telah melepaskan tanah marganya untuk dijadikan perkebunan sawit. Para pemantik diskusi menyoroti bagaimana praktik kerja paksa terus berlangsung dalam bentuk-bentuk baru yang menimpa masyarakat adat, seiring masuknya perusahaan transnasional dan pelepasan tanah adat untuk perkebunan sawit.
Berpijak pada Konvensi ILO dan kerangka hukum nasional, diskusi ini juga mengkaji bagaimana masyarakat adat terasingkan dari bentuk-bentuk mata pencaharian tradisional mereka untuk kemudian beralih menjadi buruh dengan kondisi kerja dan kehidupan yang menyiksa, terjerat lilitan utang, dan tidak bebas bergerak di perkebunan sawit. Perubahan lanskap dan hilangnya ruang hidup masyarakat akibat ekspansi industri ini dinilai menciptakan kerentanan sosial dan ekonomi yang berlapis.
Selain di Papua Selatan, ekspansi perkebunan sawit juga terjadi di Kalimantan Barat. Muhammad Fahmi Rafsanjani, mahasiswa S1 Departemen Antropologi UGM selaku narasumber pada kegiatan ini menjelaskan bahwa Replanting Sawit (peremajaan sawit) pada perkebunan plasma yang sedang berlangsung di Kabupaten Sanggau tidak luput dari konflik dan kekerasan. Temuan ini sangat penting sebagai bahan pembelajaran bagi masyarakat di Papua Selatan.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, diskusi ini relevan dengan beberapa agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Isu hak-hak pekerja dan kondisi kerja layak berhubungan langsung dengan SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), sementara perjuangan masyarakat adat atas tanah dan penghidupannya terkait erat dengan SDG 10 (Mengurangi Kesenjangan) dan SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh). Di sisi lain, dampak ekologis dari ekspansi sawit bersinggungan dengan SDG 15 (Ekosistem Daratan), karena hilangnya hutan dan ruang hidup tradisional turut mengancam keberlanjutan ekosistem.
Acara yang terbuka untuk umum ini diharapkan dapat menjadi ruang reflektif sekaligus advokasi dalam upaya perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia, serta mendorong kesadaran akan pentingnya tata kelola industri yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Penulis: Humas
Penyunting: Almonika Cindy Fatika Sari (Dosen sekaligus peneliti di Puskaha Djojodigoeno)