Eksaminasi Publik Putusan MA soal Suku Awyu: Sorotan atas Keadilan Substantif, Hak Adat, dan Krisis Ekologis Papua

Jumat (2/05/2025), Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM, Greenpeace Indonesia, dan Pusaka Bentala Rakyat menggelar, “Eksaminasi Publik Putusan 458 K/TUN/LH/2024 atas Kasus Suku Awyu”. Eksaminasi ini menggandeng W. Riawan Tjandra, Yulia Sugandi, Rikardo Simarmata, Agung Wardana, dan Herlambang P. Wiratraman sebagai Eksaminator yang dipandu oleh Franky Butar-Butar sebagai Moderator. Acara dibuka dengan sambutan khusus dari Kaleb Salamuk, mahasiswa FEB UGM, dengan meneropong makna #AllEyesonPapua.

W. Riawan Tjandra, ahli Hukum Administrasi Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta, melihat bahwa Putusan a quo justru lebih menitikberatkan aspek keadilan formal sehingga melakukan invalidasi praktikal. Riawan justru berupaya agar Putusan a quo lebih memperhatikan keadilan substantif sehingga mampu tidak mempertimbangkan masalah formil saat gugatan. Salah satu penekanan pada keadilan formal ditunjukkan oleh Riawan pada ketidaktepatan menganalisis hubungan sebab-akibat antara prosedur AMDAL dengan kualitas Keputusan TUN, sehingga tidak tercapai tujuan pemenuhan kebenaran materiil. “Akibatnya, PTUN gagal menjalankan fungsi utamanya dalam memberikan keadilan,” ucap Riawan.

“Atas nama pembangunan, eksistensi masyarakat adat di Papua disingkirkan,” ucap Yulia Sugandi, antropolog IPB. Menurut Yulia, transformasi sistemik untuk kondisi ekologis Papua perlu perombakan dalam perspektif, struktur, dan praktik. Dalam hal ini, tanpa hal tersebut, keanekaragaman biokultural Papua telah terancam. Dengan begitu, pengusungan corak pembangunan di Papua tidak semata-mata untuk kepentingan profit; perlu adanya orientasi ethnodevelopment (pembangunan berbasis identitas). Menyambung sebelumnya, Yulia menuturkan bahwa ethnodevelopment perlu ditunjang dengan adanya dekolonisasi pengetahuan dan perubahan sosial-demokratis. Konsekuensi pembangunan tersebut akan membuahkan keadilan lintas batas negara, lintas generasi, dan nonmanusia.

Sementara itu, Rikardo Simarmata, ahli hukum agraria dan adat FH UGM, menyebutkan bahwa Putusan MA No. 458 K/TUN/LH/2024 justru tidak membuka potensi untuk mempertimbangkan aspek substantif; hanya berkutat dalam ranah formil semata. Pada saat bersamaan, Putusan tersebut menihilkan penerapan peraturan perundang-undangan tentang Otonomi Khusus (Otsus). “Padahal, Otsus Papua yang dilegitimasi dalam UU 2/2021 kemudian peraturan daerah khusus (Perdasus) telah memberikan perumusan pengakuan terhadap MHA,” kata Simarmata. Dengan begitu, hak-hak adat tidak punya legitimasi dan dengan mudah diklaim sebagai tanah atau hutan negara. Salah satu rekomendasi yang ditawarkan Simarmata kepada pemerintah adalah mengakui MHA eksis karena realitas sosio-antropologis, bukan karena realitas formal.

Agung Wardana, ahli hukum lingkungan FH UGM, menekankan perlunya melihat pada koridor hukum lingkungan pada kasus Suku Awyu. Putusan Kasasi a quo justru menjustifikasi putusan PTUN sebelumnya yang memberikan landasan dalam bagi konversi hutan dalam kawasan Masyarakat Adat Suku Awyu. Implikasinya, menurut Wardana, Putusan tersebut tidak mempertimbangkan sama sekali Prinsip Keadilan Antar-Generasi, Pembangunan Berkelanjutan, dan Pencegahan Bahaya Lingkungan. Lebih lanjut, Wardana menuturkan bahwa sikap Majelis Hakim MA cenderung bermain “aman” dengan tidak ingin terlibat lebih dalam perdebatan isu lingkungan dan tidak menjalankan peran aktivisme yudisialnya.

Di sisi lain, Herlambang P. Wiratraman–ahli Hukum Tata Negara FH UGM—menyoroti pada aspek hak konstitusional warga negara. Herlambang memperhatikan fokus pada hak masyarakat adat (MHA) yang merupakan hak konstitusional warga negara sebab diakui dalam pasal 18B ayat (2) jo. 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 2945. Khususnya pada Putusan PTUN Jayapura, hak konstitusional MHA direnggut, salah satunya hilangnya sumber pangan dan komunalitas. Di samping itu, partisipasi terkesan nihil dalam kebijakan eksploitasi untuk perkebunan kelapa sawit. Nihilnya partisipasi tentu tidak memenuhi jaminan yang tertuang dalam Pasal 28F UUD 1945, Pasal 42 (3), hingga UU 2/2021. 

Para eksaminator memandang bahwa pengadilan perlu mengedepankan keadilan substantif dibandingkan keadilan formal dengan mempertimbangkan aspek sosio-antropologis masyarakat adat dan hak konstitusional mereka, mengakui eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) berdasarkan realitas sosial dan budaya, serta memperhatikan prinsip keadilan lintas generasi, pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan lingkungan. Selain itu, diperlukan perubahan paradigma pembangunan yang mengedepankan ethnodevelopment dan dekolonisasi pengetahuan, serta menjamin partisipasi aktif masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka. Pemerintah dan pengadilan diharapkan tidak hanya fokus pada aspek formal hukum, tetapi juga menghormati hak-hak masyarakat adat sesuai amanat konstitusi dan peraturan otonomi khusus Papua.

Penulis: Tim Media LSJ

TAGS :  

Berita Terbaru

CALL FOR PAPER Konferensi Nasional Hukum Bisnis dan Kenegaraan 2025

CALL FOR PAPER Konferensi Nasional Hukum Bisnis dan Kenegaraan 2025Keluarga Mahasiswa Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan (KMMH) Fakultas HukumUniversitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Mahkamah KonstitusiYogyakarta, 31 …

Diskusi PANDEKHA FH UGM Soroti Urgensi Serikat Pekerja dalam Era Deregulasi

Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PANDEKHA FH UGM) sukses menggelar diskusi publik bertajuk “Dari Ruang Publik ke Ruang Akademik: …

Hari Keempat Mahasiswa MHKes FH UGM di Letung, Kabupaten Kepulauan Anambas: Penyuluhan Hukum Kesehatan Bagi Tenaga Medis (Named) dan Tenaga Kesehatan (Nakes)

Fakultas Hukum UGM melalui mahasiswa S2 Program Studi Magister Hukum Kesehatan, dan Unit Kerja Pusat Konsultasi Bantuan Hukum (PKBH) telah sukses melaksanakan kegiatan Penyuluhan Hukum …

CALL FOR PAPER Konferensi Nasional Hukum Bisnis dan Kenegaraan 2025Keluarga Mahasiswa Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan (KMMH) Fakultas HukumUniversitas Gadjah Mada bekerjasama dengan …

Jumat (2/05/2025), Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM, Greenpeace Indonesia, dan Pusaka Bentala Rakyat menggelar, “Eksaminasi Publik Putusan 458 …

Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PANDEKHA FH UGM) sukses menggelar diskusi publik bertajuk “Dari Ruang Publik …

Fakultas Hukum UGM melalui mahasiswa S2 Program Studi Magister Hukum Kesehatan, dan Unit Kerja Pusat Konsultasi Bantuan Hukum (PKBH) telah sukses melaksanakan …

Scroll to Top