Diskusi DIALEKTIKA Bahas Batas Kritik Konstruktif dan Ujaran Kebencian di Ruang Publik Digital

Selasa (27/5/2025), Divisi Law Development ALSA LC UGM kembali menyelenggarakan forum diskusi informal bertajuk DIALEKTIKA. Edisi kali ini mengangkat tema “Membedah Realita Kritik di Tengah Dunia Kontemporer: Antara Suara Publik dan Regulasi Negara”. Para peserta membahas isu yang tengah menjadi sorotan dalam wacana hukum dan kebebasan sipil, yakni mengenai perbedaan antara kritik konstruktif dan ujaran kebencian di ruang publik kontemporer.

Diskusi dibuka oleh Kezia Alicia yang menyoroti maraknya penyampaian kritik terhadap pemerintah di media sosial dalam beberapa tahun terakhir. Ia mempertanyakan batas yang membedakan antara ujaran kebencian dan kritik yang membangun. Menanggapi hal ini, Jeremy Kevin menjelaskan bahwa secara substansi, kritik konstruktif memiliki tujuan untuk memberi saran perbaikan, sedangkan ujaran kebencian kerap disampaikan dengan cara yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan cenderung menyerang personal. Kasus mahasiswa ITB yang mengunggah konten kritik visual terhadap pejabat negara menjadi salah satu contoh yang termasuk dalam pelanggaran UU ITE pasal 27, akan tetapi dalam penanganannya dapat diringankan. 

Kemudian, Vincensius Jovan menanggapi bahwa konten tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk kebebasan berekspresi, tetapi dapat dipahami bahwa dapat menyebabkan ketidaknyamanan sehingga diwajarkan apabila ditindaklanjuti oleh aparat berwenang. Akan tetapi, Maharani Fadia tidak setuju dengan pandangan tersebut, dan menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk resistensi yang wajar dari masyarakat terhadap ketidakadilan.

Diskusi berlanjut dengan pembahasan dinamika di media sosial yang memperlihatkan polarisasi opini publik terhadap kasus Mahasiswi ITB yang tengah disorot itu. Kezia Alicia menyoroti bahwa solidaritas masyarakat terlihat lemah dalam kasus ini, yang mana sebagian netizen menilai tindakan kritik tersebut sebagai bentuk cari masalah, sementara yang lain melihatnya sebagai upaya untuk didengar oleh pemerintah. Jessica Manullang menanggapi bahwa tindakan mahasiswa tersebut, meski kontroversial, mencerminkan kegelisahan terhadap kondisi politik saat ini. Ia juga menyoroti bahwa platform seperti X (Twitter) bukanlah ruang formal, tetapi dapat menjadi media kritik yang efektif—walau tetap berisiko.

Gerald Xaverius kemudian mengangkat pertanyaan berkenaan alasan kasus kritik terhadap pemerintah cenderung diproses hukum lebih cepat dibandingkan dengan kasus-kasus lain seperti korupsi. Fatima Aliyya menanggapi bahwa hal tersebut mencerminkan ketimpangan kuasa antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah dinilai sangat menjaga citranya demi memastikan kelancaran program kerja dan kestabilan negara. Ia juga menyebutkan bahwa kasus-kasus lain seperti korupsi lebih sulit dibuktikan karena melibatkan elit berkuasa. Dalam hal ini, Gerald Xaverius juga menambahkan bahwa memang kritikus lebih mudah diidentifikasi karena pada umumnya bukanlah aparat atau bagian dari elit. 

Dalam diskusi ini, disoroti pula bagaimana pemerintah dari tingkat atas hingga desa rela menghabiskan sumber daya demi menjaga citra, disampaikan oleh Kezia Alicia Alicia dan Gerald Xaverius. Hal ini dipandang sebagai refleksi lemahnya pendidikan politik masyarakat, yang menurut Fatima Aliyya, menjadi akar dari ketimpangan dalam menyikapi isu-isu kenegaraan.

Topik kemudian bergeser ke perbandingan antara negara represif dan masyarakat apatis. Kezia Alicia mempertanyakan mana yang lebih berbahaya, dan Jeremy Kevin menjawab bahwa keduanya sama-sama membahayakan stabilitas negara. Ia menambahkan bahwa seringkali masyarakat tidak memiliki kanal formal untuk menyampaikan kritik, sehingga muncul cara-cara yang tidak terukur.

Dari sisi hukum, Kezia Alicia menyoroti bahwa meskipun UU ITE tampak objektif secara teks, implementasinya sering kali subjektif tergantung sudut pandang aparat penegak hukum dimana UU ITE lebih sering digunakan untuk menjerat kasus penghinaan. Vincensius Jovan menyatakan bahwa relasi kuasa yang dimiliki pemerintah membuat proses implementasi undang-undang menjadi sulit dan tidak selalu adil. Fatima Aliyya dan Vincensius Jovan juga menyinggung relevansi dari UU ITE dalam menangani kasus seperti revenge porn, yang lebih tepat ditangani melalui UU TPKS.

Diskusi ditutup dengan refleksi bahwa kritik adalah bagian penting dari demokrasi, tetapi implementasi hukum yang tidak adil dapat menekan ruang ekspresi tersebut. UU ITE memang relevan untuk digunakan untuk menjerat kejahatan digital tetapi masih memerlukan evaluasi dalam konteks kasus-kasus tertentu, dan penting bagi aparat penegak hukum untuk dapat menilai setiap perkara secara objektif dan proporsional.

Melalui diskusi ini, para peserta diharapkan semakin memahami kompleksitas antara kebebasan berekspresi, hukum, dan kekuasaan. Kritik bukanlah ancaman, melainkan cermin dari masyarakat yang peduli dan ingin berkontribusi dalam membentuk pemerintahan yang lebih baik dan bertanggung jawab.

Diskusi publik ini mencerminkan komitmen aktif mahasiswa Fakultas Hukum UGM dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya SDG 4 tentang Pendidikan Berkualitas yang mendorong pembelajaran kritis, serta SDG 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh yang menekankan pentingnya kebebasan berekspresi, akses terhadap keadilan, dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Dengan menghadirkan ruang diskusi yang terbuka dan inklusif, kegiatan ini turut memperkuat kesadaran hukum serta membentuk budaya demokrasi yang sehat di kalangan mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa. Forum ini juga memperlihatkan kontribusi nyata komunitas akademik dalam membangun masyarakat yang berkeadilan dan responsif terhadap tantangan sosial dan hukum yang dihadapi generasi muda dewasa ini.

Penulis: Fatima Aliyya Raihandra (ALSA LC UGM)

TAGS :  

Berita Terbaru

Prof. Mailinda Eka Yuniza Kukuhkan Diri sebagai Guru Besar FH UGM, Soroti Strategi Hukum Pensiun Dini PLTU dalam Transisi Energi

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M., resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum di Balai Senat …

Delegasi UGM Raih Juara II Kompetisi Legal Opinion Fasih Law Fair 2025

Fakultas Hukum UGM dengan diwakili oleh Maytri Gestart Ignatius dan Ganeshara Jilan Emeri, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, berhasil meraih Juara II dalam Kompetisi  Legal Opinion …

Informasi Tes Substansi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Seleksi Gelombang IV 2025/2026

A. Materi Tes Substansi Pengantar Ilmu Hukum Pengantar Hukum Indonesia Hukum Perjanjian atau Perikatan Hukum Agraria atau Pertanahan B. Persyaratan Tes Substansi Membawa kartu identitas …

Scroll to Top