Pasca terpilihnya pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2014-2019, masyarakat sering disuguhi berita tentang seteru para pembantu presiden. Pembantu presiden yang dimaksud bila mencermati konstitusi adalah wakil presiden dan menteri-menteri negara. Selisih pendapat yang ramai dimedia seperti antara Menteri ESDM dan Menteri BUMN dalam kebijakan pengelolaan Blok Masela. Sempat juga Rizal Ramli silang pendapat dengan JK tentang pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt.
Melihat fenomena tersebut, Istigfaro Anjas Ajizi, Suyudi Khomarudin, dan Umar Mubdi, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, bersama Albert Sudirman, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, mencoba menggali lebih jauh terkait keributan para pembantu presiden ini. “Kami tertarik melihat kasus tersebut karena melihat seteru tersebut akan banyak berimplikasi pada pelaksanaan program kebijakan pemerintah. Kalau ada seteru tersebut, tentunya akan menghambat pelaksanaan tadi dan akhirnya akan menghambat proses pembangunan,” ungkap Umar.
Anjaz menambahkan bahwa dengan penguatan sistem presidensial di Indonesia, seharusnya keributan para pembantu presiden tidak terjadi. Presiden adalah pemegang kekuasaan penuh secara individu (single chief executive), artinya kekuasaan urusan pemerintahan sepenuhnya ada di tangan presiden. Menteri-menteri di Indonesia dipilih langsung oleh presiden sehingga bertangggung jawab pada presiden. Hal tersebut berbeda dengan sistem parlementer. Dengan demikian, presiden, wakil presiden, serta para menteri sewajarnya memiliki satu suara dalam menjalankan pemerintahan, karena para pembantu presiden membawahi pendapat presiden.
“Menjadi tidak relevan ketika melihat fenomena yang sekarang terjadi dikabinet Jokowi-JK, dimana beberapa pembantu presiden ini terdapat silang pendapat yang terbuka di publik. Seharusnya bisa menyelesaikan masalah tersebut di internal kabinet,” jelas Anjaz. Anjaz dan kawan-kawan kemudian membuat penelitian dengan judul “Relasi Pembatu Presiden dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK” sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Sosio Humaniora (PKM-PSH).
Melalui penelitian tersebut, didapati bahwa kekisruhan yang terjadi merupakan salah satu bentuk komunikasi politik yang dilakukan Jokowi. “Kekisruhan itu memang bisa menjadi sarana komunikasi presiden untuk melibatkan masyarakat secara langsung untuk melihat program-program pemerintah yang sedang berjalan,” kata Anjaz. Hal ini mengingat bahwa Jokowi didukung penuh oleh masyarakat dan konstitusi namun tidak terlalu kuat dukungan politiknya.
“Pola kerja saat ini yang menghasilkan kegaduhan tadi dirasa sebagai pola pemerintahan yang demokratis. Karena kegaduhan yang muncul, membahas mengenai hal-hal substantif terkait kebijakan pemerintah. Maka secara langsung, publik mendapat pencerdasan dengan adanya kegaduhan tersebut,” tutur Umar. Walau pun sebenarnya masih ada cara lain untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan nasional. Seperti dengan menggunakan sistem arus informasi satu pintu dengan memublikasikan hasil sidang kabinet untuk dinilai masyarakat. “Bukan malah menonton kegaduhannya,” ujar Anjaz.
Penelitian ini juga berusaha merumuskan pola relasi para pembantu presiden yang ideal agar pemerintahan bejalan stabil dari tiga faktor. Pertama, dari faktor normatif harus ada pengaturan yang jelas terkait kedudukan, tugas, dan wewenang, para pembantu presiden. Kedua, faktor peran dan posisi presiden. Masyarakat harus jeli memilih calon presiden dengan kualitas terbaik dari segi kinerja, gaya kepemimpinan, dan pemahaman prosedural. Presiden juga harus memiliki dukungan masyarakat, konstitusi, dan politik yang kuat. Terakhir, berdasarkan personalitas pembantu presiden. Presiden dalam memilih menteri, tidak boleh diintervensi oleh pihak lain. Ia harus bebas memilih menteri yang satu tipe dan satu pandangan dengannya. Para pembantu yang dipilih juga harus memahami konteks di mana dia bekerja dan untuk siapa dia bekerja. “Ketika diri pembantu presiden sudah paham dan sudah satu visi dengan presiden, maka tidak akan ada lagi kegaduhan. Artinya presiden akan bisa menguasai kabinet secara penuh,” papar Anjaz. (Lita)