Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum dan Program Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar penyuluhan hukum dengan tema “Tata Ruang Berkelanjutan dan Berkeadilan Garis Imajiner Yogyakarta: Merajut Harmoni Pelestarian Budaya dan Hak Atas Ruang untuk Warga”. Acara tersebut berlangsung pada Rabu (2/7/2025), melalui siaran langsung Pro Justicia di TVRI Yogyakarta. Kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama antara Mahasiswa Pascasarjana Hukum UGM, Mahasiswa Sarjana Hukum UGM, Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Fakultas Hukum UGM, dan TVRI Yogyakarta.
Siaran penyuluhan hukum ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait Daerah Istimewa Yogyakarta yang sangat dikenal sebagai kota yang sarat akan nilai-nilai filosofis, historis, ekologis, dan sosial budaya. Salah satu simbol utama tata ruang DIY adalah keberadaan garis imajiner yang membentang dari Gunung Merapi di utara, melewati Keraton Yogyakarta, hingga Laut Selatan di selatan. Garis ini tidak hanya merepresentasikan kosmologi Yogyakarta. Namun, juga mewujudkan sistem nilai yang mendalam dalam kehidupan masyarakat. Hal ini mencerminkan relasi harmonis antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual, sebagaimana terumus dalam falsafah Jawa “memayu hayuning bawana” yang artinya merawat dan menjaga harmoni dunia.
Acara ini menghadirkan dua pembicara ahli di bidangnya masing-masing: Aji Baskoro, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM, Agustin Mega Prastiwi, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM dan Dr. Ir. Tri Mulyani Sunarharum, S.T., Dosen sekaligus Sekretaris Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (MPWK).
Aji Baskoro memaparkan Hak atas ruang hidup yang aman, sehat, dan lestari merupakan bagian dari hak konstitusional sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H UUD NRI 1945. Hak ini meliputi perlindungan atas lingkungan hidup, akses terhadap pekerjaan, tempat tinggal, dan partisipasi dalam kebijakan publik. Secara sederhana, hak ini mencakup hak masyarakat untuk tinggal di lingkungan yang tidak tercemar, bebas dari bencana ekologis akibat ulah manusia, dan memiliki akses terhadap tempat tinggal serta pekerjaan yang layak. Dalam konteks DIY, pelanggaran terhadap hak ini dapat terlihat dari maraknya alih fungsi lahan, pertambangan ilegal yang merusak sungai dan merugikan masyarakat sekitar, serta kebijakan relokasi yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan sosial-ekonomi warga terdampak.

Sementara itu, Agustin Mega Prastiwi memaparkan prinsip Keadilan spasial merupakan prinsip yang menuntut distribusi ruang secara adil, demokratis, dan inklusif dengan memperhatikan hak-hak kelompok rentan. Dalam konteks hukum tata ruang, keadilan spasial tidak dapat dipisahkan dari prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mewajibkan pengelolaan ruang untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan hak generasi mendatang. Ketidakadilan dalam penguasaan ruang atau perusakan lingkungan oleh aktivitas pertambangan ilegal adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip ini dan berpotensi melanggengkan ketimpangan serta krisis ekologis.
Sementara itu, Dr. Ir. Tri Mulyani Sunarharum, S.T., memaparkan pentingnya Komitmen deliberatif forum dalam menyepakati tata ruang berkelanjutan dan berkeadilan di kawasan Garis Imajiner Yogyakarta merupakan wujud nyata upaya merajut harmoni antara pelestarian budaya dan pemenuhan hak atas ruang bagi seluruh warga. Melalui proses deliberatif, forum ini menghadirkan ruang dialog yang inklusif, di mana berbagai pemangku kepentingan—pemerintah, masyarakat, dan komunitas budaya—berpartisipasi secara aktif dalam merumuskan kesepakatan, baik secara informal melalui diskusi terbuka maupun secara formal melalui penetapan regulasi dan pedoman teknis. Di samping itu, harmonisasi antara kebijakan terkait tata ruang dan lingkungan lintas sektor dan lintas level kewenangan juga sangat penting dalam upaya perwujudan pembangunan perkotaan masa depan yang berkelanjutan, yang menekankan pada sinergi antara dimensi sosial yang inklusif, dimensi ekonomi yang kompetitif, dan dimensi lingkungan yang hijau dan lestari.
Acara ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif dengan para penonton TVRI Yogyakarta yang antusias. Melalui siaran ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat luas, sangat krusial dalam merajut harmoni antara pelestarian budaya dan hak atas ruang di kawasan Garis Imajiner Yogyakarta.
Selain itu, kegiatan ini berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan) dengan mendorong tata ruang yang inklusif, berkeadilan, dan ramah lingkungan, sehingga menciptakan lingkungan hidup yang layak dan mempertahankan warisan budaya bagi generasi mendatang. Kegiatan ini juga mendukung SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat) melalui proses deliberatif yang memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan serta mekanisme penyelesaian konflik tata ruang secara damai dan adil.
Penulis: Muhammad Imam Maulana (Penerima Hibah Penyuluhan Hukum Mahasiswa)