Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hukum Ekonomi Islam Indonesia (APPHEISI) bekerja sama dengan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro menyelenggarakan Konferensi Hukum Ekonomi Islam baru yang mengusung tema Transformasi Hukum Ekonomi Syariah Indonesia Menyongsong Era Kecerdasan Buatan. Kegiatan ini terselenggara pada Jumat (12/9/2025) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Pada konferensi ini, Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si. dari Departemen Hukum Islam FH UGM mendapatkan kesempatan menjadi pemateri dalam plenary session bersama 4 orang akademisi dari perguruan tinggi lainnya, yaitu Prof. Dr. Helza Nova Lita, S.H., M.Hum., dari Universitas Padjajaran, Prof. Dr. Neneng Nurhasanah, Dra., M.Hum., dari Universitas Islam Bandung, Prof. Ro’fah Setyowati, S.H., M.H., P.hD. dari Universitas Diponegoro, dan Dr. Fiska Silvia Raden Roro, S.H., M.M., LL.M. dari Universitas Airlangga. Kegiatan tersebut dihadiri pula oleh KH. Sholahudin Al Aiyub, M.Si Ketua MUI Bidang Ekonomi Syariah dan Halal sebagai Direktur Eksekutif KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah), serta Pengajar dan Peneliti Hukum Ekonomi Islam dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Pada kesempatan tersebut, Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si. menyampaikan materi tentang Masa Depan Penegakan Hukum Ekonomi Islam di Era Kecerdasan Buatan. Beliau menyampaikan bahwa salah satu indikator negara hukum yang baik adalah keberhasilannya dalam penegakan hukum. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk dapat tegak atau berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dan telah diatur sebagai pedoman perilakunya dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara. Beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si antara lain yaitu : 1) Perlu melakukan rekonseptualisasi terhadap alat bukti dalam perkara perdata syariah, 2) Merumuskan regulasi yang mengatur kedudukan kecerdasan buatan (AI), apakah sebagai subjek hukum yang terpisah dari orang/badan hukum, atau sebagai subjek hukum selain orang/badan hukum, 3) Mengkaji implikasi yuridis dari kedudukan subjek hukum tersebut terhadap pertanggungjawaban hukum, 4) Kecerdasan buatan (AI) lebih tepat dimanfaatkan sebagai alat referensi dan sarana peningkatan efisiensi administrasi, bukan sebagai penentu dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, karena proses penyelesaian perkara sangat bergantung pada intuisi serta keterkaitan antara fakta-fakta hukum yang hanya dapat dimiliki dan dipahami oleh manusia, 5) Perlu mendiskusikan penggunaan smart contract berbasis blockchain, mengingat salah satu kendalanya adalah bahwa sistem blockchain umumnya diakses melalui Cryptocurrency. Dalam hal Cryptocurrency sebagai komoditi/aset , sedangkan berdasarkan Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-indonesia VII tentang Hukum Cryptocurrency aset kripto tidak diperbolehkan digunakan sebagai alat transaksi, dan 6) Hak kekayaan intelektual berkaitan dengan hasil produk AI serta impilikasinya dengan hukum jaminan. Sesi tersebut diwarnai oleh diskusi yang sangat aktif, baik dari para pemateri maupun peserta.
Kegiatan tersebut memiliki keterkaitan erat dengan dua tujuan SDGs, yaitu SDGs 4 (Quality Education) dan SDGs 16 (Peace, Justice, and Strong Institutions). Konferensi ini berkontribusi pada SDG 4 dengan memperkuat kualitas pendidikan dan riset hukum ekonomi Islam agar semakin adaptif terhadap perkembangan teknologi. Selain itu, rekomendasi mengenai pentingnya regulasi AI, pertanggungjawaban hukum, dan batasan penggunaan AI dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah mendukung SDGs 16, karena mendorong pembangunan sistem hukum yang lebih kuat, adil, dan akuntabel di Indonesia.
Penulis : Dita Elvia Kusuma Putri (Asisten Dosen Departemen Hukum Islam)




