Pada Sabtu, 23 Maret 2019, di Ruang Seminar Lantai 2 Perpustakaan Pusat UGM, ALSA LC UGM telah menyelenggarakan diskusi yang bertemakan “Menilik RUU PKS sebagai Implementasi Tujuan Hukum Pidana Kontemporer”. Legal Discussion ini dilakukan untuk meluruskan konsepsi masyarakat terkait isu pro dan kontra mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sedang hangat diperbincangkan. ALSA Legal Discussion 2019 ini dihadiri oleh tiga orang pembicara antara lain Bapak Saeroni, S.Ag., M.H. selaku perwakilan Aliansi Laki-laki Baru, Bapak Muhammad Amin Nasution, S.H., M.H. yang merupakan Managing Partners di M. Amin Nasution, S.H., M.H. & Partners, dan Ibu Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M. (HR). Ph.D selaku Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM.
Diskusi dibuka dengan pemaparan materi dari Bapak Saeroni, S.Ag., M.H., mengenai berbagai macam kasus kekerasan seksual yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia, ia pun melanjutkan pembahasan ini dari perspektif kaum laki-laki. Pemaparan beliau diakhiri dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana mencegah laki-laki melakukan kekerasan seksual?” yang mana timbul beragam upaya yang dapat dilakukan seperti laki-laki harus mengaplikasikan perilaku seksual yang sehat dan berfokus pada persetujuan dan penghormatan pasangannya, dan pemahaman tentang kesetaraan gender dan penghargaan atas perbedaan gender tersebut.
Pemateri selanjutnya adalah Bapak Muhammad Amin Nasution, S.H., M.H., beliau yang juga berlatarbelakang sebagai praktisi hukum mencoba untuk mengkritisi RUU PKS pasal demi pasal dan menghubungkannya dengan realitas di lapangan, beliaupun sampai kepada kesimpulan bahwa RUU PKS akan sulit untuk dilaksanakan pada praktiknya, karena menurutnya terdapat beberapa hal yang baru dan dirasa masih belum familiar di kalangan aparat penegak hukum. Namun beliau menambahkan bahwa proses pembuatan sebuah undang-undang tidaklah singkat, masih banyak tahap dari pembuatan undang-undang yang harus dilalui oleh RUU PKS, sehingga bisa dikatakan besar kemungkinan adanya perubahan-perubahan pada RUU PKS ini dan masih terlalu dini untuk menyatakan pengesahan atau penolakan dari RUU ini.
Sampai pada pembicara terakhir yaitu Ibu Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M. (HR). Ph.D. Beliau mendefinisikan kekerasan seksual dengan 9 bentuk guna meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengidentifikasi tindakan sarat unsur kekerasan seksual, karena berdasarkan data yang disuguhkan, masih banyak pelaku yang tidak terlapor. Dalam diskusi ini, beliau memaparkan peristiwa yang dialami para korban kekerasan seksual seperti pemaksaan kontrasepsi, restitusi dan kompensasi yang tidak didapat korban, stigma masyarakat yang menyalahkan, serta minimnya alokasi anggaran untuk membantu korban. Tidak hanya itu, beliau menjelaskan mengenai penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban, serta perlunya mengupayakan rehabilitasi bagi pelaku guna mengubah pola pikir agar kebermanfaatan itu sendiri dapat terwujud.
Acara dilanjutkan dengan tanya jawab dari para peserta yang hadir. Legal Dissussion ditutup dengan penyerahan plakat kepada para pembicara dan moderator oleh pengurus ALSA LC UGM.
Dari diskusi terkait dapat disimpulkan bahwa penerapan RUU PKS selain bertujuan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku, juga menjadi jalan untuk mencapai manfaat baik bagi pelaku maupun korban, kebermanfaatan itu terwujud dalam upaya rehabilitasi. Di satu sisi perlu dipertimbangkan kesiapan sistem hukum Indonesia serta kontribusi masyarakat dalam mengimplementasikan RUU PKS, jangan sampai hanya tertulis di atas kertas saja dan tidak diaplikasikan secara nyata. (MAM)