Aprilia Stefany Leliak, mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PDIH FH UGM), bersama dengan Sartika Intaning Pradhani dan Almonika Cindy Fatika Sari, dosen Departemen Hukum Adat FH UGM, mengikuti International Course on Legal Pluralism. Kursus yang berlangsung pada Rabu (8/1/2025) hingga Sabtu (11/1/2025) ini diselenggarakan oleh the Commission on Legal Pluralism dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).
Para pengajar dan peserta kursus berasal dari berbagai universitas dan negara, antara lain Leiden University & Wageningen University (Netherlands), Max Planck Institute for Social Anthropology (Germany), Universidad para el Desarrollo Andino (Peru), University of Melbourne & Australian National University (Australia), University of Cape Town (South Africa), University of Richmond & City University of New York (USA), University of Zambia (Zambia), dan Universitas Gadjah Mada, Universitas Trunojoyo, serta Universitas Katolik Parahyangan (Indonesia).
Dalam kursus tersebut, materi yang disampaikan adalah (1) perkenalan tentang konsep pluralisme hukum; (2) legal pluralisme dan forensik sosial antropologi: keadilan interkultural di Global South; (3) Hukum Agama Keluarga dan Hak Asasi Manusia; (4) Hukum Adat: Interpretasi dan Representasi; (5) Pluralisme Hukum dan Hubungan antara Manusia dan Alam; (6) Metodologi: Mempelajari Pluralisme Hukum dalam Sengketa dan Lebih Luas. Selain materi tersebut, ada pula forum bagi para peserta untuk mendiskusikan rencana riset ke depan dan kunjungan ke Kampung Adat Cireundeu, Jawa Barat.
Setelah kursus selesai, ketiga perwakilan FH UGM mengikuti International Conference on Legal Pluralism yang berlangsung pada Minggu (12/1/2025) hingga Rabu (15/1/2025). Konferensi dibuka dengan penjelasan perkembangan hukum Indonesia dan dilanjutkan dengan panel-panel.
April dan Monik mempresentasikan pemikiran mereka dalam panel Recognition of Customary Justice Systems–a Double-Edged Sword. April mempresentasikan “The Urgency of Legal Protection of the Rights of Indigenous Peoples in the Era of Disruption” dan Monik menyampaikan “Land and Labor: The Relations of Matrilineal Community and Capitalism in West Sumatra, Indonesia”. Sementara itu, Sartika mengemukakan “Adat Law-Making of the Mollo Community: Marble Mining Prohibition and Beard Lichen Collection Restriction” dalam panel “Rights, Conflict, and Justice: Engaging with Legal Pluralism in Asia”.
Dalam konferensi tersebut, Rikardo Simarmata, dosen FH UGM, bersama dengan Adriaan Bedner, dosen Leiden University, menyelenggarakan “Round Table: Transformative Power of Teaching Customary Law (New Style)”. Berangkat dari tulisan mereka yang berjudul “New Ways of Teaching Adat (Customary) Law at Indonesia Law School” –yang diterbitkan pada The Indonesian Journal of Socio-Legal Studies dan telah diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia–, mereka berusaha menggali pengalaman para peserta dalam inovasi pengajaran hukum adat.
Para peserta dari berbagai negara–seperti Afrika Selatan, Kamerun, Zambia, Amerika Serikat, Australia, dan India–juga ikut aktif membagikan pengalaman mereka dalam mengajar hukum adat di negaranya, termasuk berbagai hambatan yang mereka hadapi. Ternyata, tantangan mengajar hukum adat yang lebih kontekstual tidak hanya dialami oleh para pengajar Indonesia, tetapi juga para pengajar lain dari berbagai negara.
Penulis: Sartika Intaning Pradhani (Dosen Departemen Hukum Adat)