Peradilan Umum vs Peradilan Agama “Perbuatan Melawan Hukum”

IMG_0696

Kamis, tanggal 31 Maret 2015 dilaksanakan agenda rutin Unit PPM FH UGM “Bulaksmur Legal Discussion” dengan tema “Kewenangan Pengadilan Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Dengan Alas Gugat Perbuatan Melawan Hukum: Peradilan Umum vs Peradilan Agama”. Dalam kesempatan tersebut Ibu Hartini, S.H., M.Si. Dosen Fakultas Hukum pada Departemen Hukum Islam mengemukakan bagimana persinggungan dan konetivitas antara kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan Agama.

Prinsipnya, di Indonesia ada dua peradilan yang mempunyai kewenangan menyelesaikan perkara perdata: Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Gugatan perdata dapat diajukan ke pengadilan dengan alas gugat antara lain adanya perbuatan melawan hukum (PMH). Selama ini sudah umum diakui bahwa perkara perdata dengan alas gugat adanya PMH merupakan kewenangan  absolut pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pasca diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 kemuadian terjadi perluasan dan perubahan kewenangan Peradilan Agama. Perluasan kewenangan tersebut antara lain penambahan kewenangan menyelesaikan perkara ekonomi syariah, sementara perubahan kewenangan Peradilan Agama meliputi: Penghapusan Hak Opsi pada perkara waris dan Penambahan aturan specialis pada Pasal  50 ayat (2) terkait penyelesaian sengketa milik atau sengketa lain. Terdapat persinggungan ketika PMH yang dilakukan terkait dengan waris yang dialami oleh pewaris yang beragama Islam.

Perbuatan Melawan Hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perbuatan melawan hukum adalah adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban, adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Sebelum tahun 1919, PMH dimaknai secara sempit akibat pengaruh legisme. PMH disebut sebagai onrechtmatigedaad, yaitu perbuatan melanggar undang-undang dengan makna bahwa suatu perbuatan baru dianggap melanggar hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang. Pemahaman ini dimaknai berdasarkan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine dan Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 kasus Zutphenese Juffrouw yang dalam kasus ini dimaknai onwetnalaghten yang terhadapnya diharuskan adanya kesengajaan.

Setelah tahun 1919 dengan adanya perkara Lindenbaum vs. Cohen 31 Januari 1919  makna melawan hukum diperluas sedemikian rupa. Melawan Hukum merupakan tindakan berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari pada orang yang berbuat atau tidak berbuat itu atau bertentangan dengan tatasusila atau sikap berhati-hati sebagaimana patutnya di dalam pergaulan masyarakat terhadap orang atau barang orang lain.

UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada Pasal 50 menentukan dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan ini dirubah melalui UU No. 3 tahun 2006 Pasal 50 dengan menambahkan ayat (2) dalam pada pasal 50 yang menentukan apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Namun demikian, perlu dijelaskan bahwa dalam ketentuan ini tidak ditemukan pencabutan kewengan dari peradilan umum untuk mengadili perkara dengan alas gugat PMH.

PMH dikatakan sebagai Blanketnorm implementasi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata masih memerlukan materialisasi dari ketentuan di luar KUH Perdata. OKI, dalam PMH pasti ada perkara pokok yang mengikutinya, misal jual beli, sewa menyewa, utang piutang, kewarisan, perkawinan dsb. Dalam perkara perdata, pada prinsipnya, orang bebas mengajukan gugatan (tentu dengan syarat-syarat). Hakim perdata juga dilarang untuk menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada. Hakim perdata boleh melakukan penemuan hukum bahkan diberi keleluasaan untuk menggunakan metode konstruksi (metode yang dalam perkara pidana dibatasi/dilarang). Idealnya ada hak dari Tergugat atau para Tergugat untuk mengajukan eksepsi absolut pengadilan atau, manakala pihak Tergugat tidak mengajukan eksepsi absolut, seharusnya hakim (PN) menyatakan diri secara absolut tidak berwenang untuk mengadili. Dalam praktik, penyelesaian sengketa waris antara orang-orang Islam yang di dalamnya terdapat gugatan PMH diajukan baik ke PN maupun ke PA.

 Masih terdapat perbedaan persepsi di kalangan Hakim di lingkungan PU terkait PMH dalam perkara waris Islam. Bahkan sebagian hakim masih tidak menerima eksepsi absolut yang diajukan oleh pihak Tergugat. Putusan Pengadilan Negeri Rangkasbitung tanggal 26 Januari 2012 No. 01/Pdt.G/2011/PN.Rkb. dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Banten No 32/Pdt.G/2012/PT.Btn. Dalam perkara waris dengan alas gugat PMH, pihak Tergugat mengajukan eksepsi absolut dan diterima oleh PN. Misal Putusan PN Blitar No. 45/Pdt.G/2014/PN.Blt. Dalam bahasa Indonesia, connectivity menurut penulis dapat diterjemahkan menjadi “konektivitas” yang berarti keterhubungan atau status koneksi.

Berdasarkan Pasal 50 UU Nomor 3 Tahun 2006, sudah jelas bahwa saat ini pengadilan agama berwenang memeriksa dan memutus sengketa hak milik dan sengketa lain dalam perkara yang menjadi kewenangan absolut pengadilan agama, termasuk di dalamnya perkara waris Islam. Ketika pengadilan agama berwenang untuk menyelesaikan sengketa hak milik atau keperdataan lain yang para pihaknya beragama Islam, maka ke dalam pengertian ini akan masuk pula perkara perbuatan melawan hukum. Sekalipun tanpa eksepsi, ada Pengadilan dilingkungan Peradilan Umum yang secara absolut menyatakan tidak berwenang Putusan PN Selong No. 44/Pdt.G/2006/PN. Sel yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Mataram No. 33/Pdt/2007/PT.Mtr dan Kasasi  No. 30 K/Pdt/2008. Dalam perkara waris dengan alas gugat PMH, pihak Tergugat mengajukan eksepsi absolut dan diterima oleh PN. (Febri/Eka)

TAGS :  

Berita Terbaru

Delegasi Fakultas Hukum UGM Raih Juara 1 di HIMSLAW Legal Competition 2024

Delegasi El-Asah dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil menorehkan prestasi gemilang dengan meraih Juara 1 dalam HIMSLAW Legal Competition 2024, sebuah ajang kompetisi …

Seminar Nasional Kolaborasi Departemen Hukum Bisnis Bahas Hak Paten

Selasa (26/11/2024), Departemen Bisnis FH UGM bersama dengan Magister Bisnis Hukum dan Kenegaraan (MHBK), Centre for Intellectual Property, Competition, and Dispute Settlement Mechanism Studies (CICODS), …

Musyawarah Proker, Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Fokuskan Pengabdian di DTPK

Jumat (23/11/24) Keluarga Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan (KMMHKes) melaksanakan musyawarah program kerja tahun 2024-2025. Dihadiri oleh Plt Kepala Prodi Magister Hukum Kesehatan Dr. Heribertus Jaka …

Delegasi El-Asah dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil menorehkan prestasi gemilang dengan meraih Juara 1 dalam HIMSLAW Legal Competition 2024, …

Selasa (26/11/2024), Departemen Bisnis FH UGM bersama dengan Magister Bisnis Hukum dan Kenegaraan (MHBK), Centre for Intellectual Property, Competition, and Dispute Settlement …

Jumat (23/11/24) Keluarga Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan (KMMHKes) melaksanakan musyawarah program kerja tahun 2024-2025. Dihadiri oleh Plt Kepala Prodi Magister Hukum Kesehatan …

Prodi Doktor Ilmu Hukum selenggarakan kuliah tamu pada Sabtu (23/11/2024). Kuliah tamu ini diikuti mahasiswa dari prodi Doktor Ilmu Hukum yang mengambil …

Scroll to Top