Tekanan perekonomian global, meningkatnya kompetisi perdagangan internasional, serta masuknya produk impor berharga murah telah menurunkan daya saing industri dalam negeri, khususnya industri padat karya. Kondisi ini berdampak langsung pada penurunan utilitas produksi, melemahnya arus kas perusahaan, tertundanya modernisasi mesin dan peralatan, serta meningkatnya risiko pemutusan hubungan kerja dan rendahnya penyerapan tenaga kerja baru. Permasalahan tersebut menegaskan perlunya intervensi pemerintah yang terfokus pada penguatan iklim usaha industri melalui skema pembiayaan yang efektif dan berkelanjutan.
Pemerintah telah menunjukkan komitmen kuat melalui arahan Presiden pada 19 Maret 2025 dengan menyediakan Kredit Industri Padat Karya (KIPK) sebesar Rp20 triliun dengan subsidi bunga 5% selama 8 tahun, serta melalui berbagai skema pembiayaan lain yang diatur dalam Pasal 45–47 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Skema tersebut mencakup keringanan bunga pinjaman, potongan harga pembelian mesin dan peralatan, serta bantuan mesin dan peralatan (restrukturisasi mesin).
Namun demikian, pelaksanaan pembiayaan industri menunjukkan capaian yang belum optimal. Realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan kredit alat dan mesin pertanian (Alsintan) masih berada di bawah target, yang menunjukkan perlunya penguatan fungsi sosialisasi, pengelolaan, dan pengawasan penyaluran pembiayaan. Di sisi lain, penyelenggaraan restrukturisasi mesin saat ini tersebar di berbagai direktorat jenderal dan bersifat sektoral, sehingga kurang terkoordinasi dan belum sepenuhnya diposisikan sebagai fasilitas iklim usaha industri yang terintegrasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 1 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perindustrian, Direktorat Ketahanan dan Iklim Usaha Industri memiliki mandat kebijakan terkait fasilitas iklim usaha industri. Peraturan tersebut juga membuka ruang pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk melaksanakan tugas teknis operasional. Namun hingga saat ini belum terdapat unit kerja yang secara khusus dan terfokus menjalankan fungsi operasional pembiayaan industri, baik untuk KIPK maupun restrukturisasi mesin lintas sektor.
Kompleksitas dan keberlanjutan tugas penyelenggaraan pembiayaan industri menuntut kapasitas kelembagaan yang bersifat operasional, tidak semata perumusan kebijakan. Oleh karena itu, pembentukan UPT Balai Pembiayaan Industri menjadi kebutuhan mendesak untuk memusatkan pelaksanaan KIPK dan restrukturisasi mesin secara terkoordinasi, akuntabel, dan efektif, sekaligus memungkinkan direktorat jenderal teknis tetap fokus pada perumusan kebijakan sektoral dan pembinaan industri.
Pembentukan UPT Balai Pembiayaan Industri juga selaras dengan arah kebijakan nasional dalam RPJMN 2025–2029, khususnya Prioritas Nasional 5 tentang penguatan industri padat karya dan Prioritas Nasional 3 terkait peningkatan kapasitas usaha serta akses pembiayaan produktif. Untuk menjamin pemerataan layanan dan kedekatan dengan pelaku industri, UPT perlu dibentuk pada empat wilayah strategis, yaitu Medan, Tangerang, Semarang, dan Makassar, sesuai dengan sebaran pusat pertumbuhan industri nasional.
Dengan demikian, pembentukan UPT Balai Pembiayaan Industri memiliki dasar hukum yang kuat, relevansi kebijakan yang tinggi, serta urgensi strategis untuk mendukung daya saing industri nasional, penciptaan lapangan kerja, dan keberlanjutan pertumbuhan industri Indonesia.




