Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ, Center for Law and Social Justice) mengambil langkah proaktif dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan akademik di Asia Tenggara. Dalam forum The Sixth SEAHRN International Conference (Southeast Asian Human Rights Studies Network), Ketua Pusat Kajian LSJ, Herlambang P. Wiratraman, menjadi narasumber utama pada sesi plenari yang bertema “Academic Freedom: Opportunities and Threats to Academic Freedom in Southeast Asia”. Konferensi tersebut diselenggarakan pada Selasa (13/8/24) hingga Rabu (14/8/24) di St Giles Wembley Hotel, Penang, Malaysia.
Dalam paparannya, Herlambang mengungkapkan bagaimana situasi kebebasan akademik di Indonesia dipengaruhi oleh politik negara. Ia menggarisbawahi berbagai serangan yang sedang berlangsung terhadap kebebasan akademik, serta isu dan pola yang membentuk situasi tersebut. Herlambang menyoroti tantangan yang dihadapi oleh aliansi kebebasan akademik, terutama dalam konteks politik otoriter di Indonesia.
Di era penipuan ini, kebebasan akademik menghadapi kompleksitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana narasi dan kebijakan anti-sains semakin mendominasi. Terlebih kemunculan elit predatoris dalam relasi kuasa politik dan ekonomi yang mendukung politik oligarki dapat mengooptasi dan menekan kebebasan berpendapat yang dimiliki kampus sebagai institusi pendidikan. Strategi yang terus dipaksakan adalah strategi pembingungan dan penormalan atas tindakan tindakan abusif atau kesewenang-wenangan.
Materi yang disampaikan ini sudah pernah diangkat dalam The AAS in-ASIA Conference 2024 di UGM pada Selasa (9/7/24) hingga Kamis (11/8/24). Dalam konferensi ini, LSJ bekerja sama dengan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengadakan panel khusus mengenai Kebebasan Akademik di Asia Tenggara. Panel ini cukup menarik perhatian dan dihadiri oleh lebih dari 30 peserta dari berbagai negara. Dalam panel tersebut, presentasi disampaikan oleh Sriprapha Petcharamesree (Universitas Chulalongkorn), Bencharat Sae Chua (Coordinator Southeast Asian Coalition for Academic Freedom, Dosen Universitas Mahidol), Riwanto Tirtosudarmo (peneliti lepas, BRIN, dan penasehat KIKA), Dhia Al Uyun (Ketua Serikat Pekerja Kampus) dan Satria Wicaksana (Dekan FH UM Surabaya sekaligus Ketua KIKA).
Pertemuan tersebut menghasilkan diskusi mengenai kebebasan akademik di Asia Tenggara telah dibentuk dan dipengaruhi oleh politik di negara masing-masing. Namun, realitas di lapangan sangatlah beragam. Hal itu terjadi karena sangat ditentukan oleh sejauh mana gerakan sosial di kalangan akademisi dan kaitannya dengan isu-isu sosial politik, peran aliansi independen dan progresif untuk memperjuangkan hak-haknya, atau memahami peran serikat dosen dalam membela kebebasan akademik dan ilmiah.
Pertemuan tersebut juga mendiskusikan sejauh mana kebebasan akademik dianggap sebagai pilar kuat bagi masyarakat demokratis. Hal ini cukup krusial bagi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya, dan sosial yang dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Hasil dari perjumpaan tersebut adalah bertujuan untuk mendorong kemungkinan strategi dalam menghadapi kemunduran demokrasi yang berdampak pada menyusutnya ruang sipil, tak terkecuali di Kawasan Asia Tenggara.
Penulis: Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ)
Penyunting: Humas