Mencari Keadilan bagi Suku Awyu: Refleksi Kritis Pascaputusan MA dalam Diskusi LSJ FH UGM

Rabu (19/3/2025) Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) menggelar diskusi pasca eksaminasi kasus Suku Awyu dengan berkolaborasi bersama Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Greenpeace, dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Diskusi dengan tajuk “Ke Mana Suku Awyu Mencari Keadilan Pasca Putusan MA?” dihadiri oleh I Gusti Agung Wardana (Ahli Hukum Lingkungan Dan Krisis Iklim) sebagai eksaminator dan dimoderatori oleh Andika Putra (Dosen Departemen Hukum Lingkungan). Diskusi ini juga turut dibersamai oleh 5 orang penanggap, yaitu Almonika Cindy Fatika Sari, Gispa Ferdinanda Warijo, Tigor Hutapea, Muhammad Zakiuddin Al Farisi, dan Zaky Badruzzaman.

Diskusi dibuka oleh Tigor Hutapea, penasihat hukum Masyarakat Hukum Adat (MHA) Awyu, yang memaparkan perjalanan kasus Suku Awyu dalam memperjuangkan hak atas ruang hidup mereka yang terancam akibat ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Agung Wardana terkait adanya upaya mengeksklusi masyarakat Aywu dan bagaimana MHA menjadi salah satu aktor yang paling sedikit berkontribusi dalam perubahan iklim tetapi merasakan dampak buruk yang paling besar. Pemaparan oleh eksaminator juga menyoroti tentang penalaran mayoritas hakim cenderung formalistis dan gagal melihat permasalahan dari aspek struktural membuat gugatan-gugatan MHA Awyu terkait hak atas ruang hidup mereka terabaikan. 

Saat sesi penanggap, Gispa Ferdinanda Warijo, perwakilan mahasiswa Papua, mengkritik pemerintah atas pengabaian hak-hak MHA di Papua. Ia menegaskan bahwa keberadaan MHA sangat bergantung pada wilayah adat yang diwariskan secara turun-temurun. Menurutnya, hilangnya wilayah adat sama dengan hilangnya identitas MHA. Ia juga menyoroti kesenjangan struktural dan pengetahuan yang dihadapi oleh MHA, yang pengetahuannya sering dianggap tidak sah karena diwariskan secara lisan.

Diskusi terlaksana secara aktif dua arah. Peserta terlihat antusias dengan bertanya ragam persoalan seputar Suku Awyu dan penanggap menjawab dengan komprehensif. Di sesi akhir, Herlambang P. Wiratraman, Ketua LSJ FH UGM, menyampaikan rasa geramnya terhadap putusan yang membatasi ruang bagi masyarakat adat dalam mencari keadilan, dengan menyoroti kesalahan dalam penerapan prinsip “invaliditas vertikal”. Ia menegaskan bahwa putusan PT TUN dan MA keliru, karena membatasi akses keadilan hanya berdasarkan alasan formal tanpa mempertimbangkan substansi keadilan yang lebih mendalam.

Penulis: Patricia Nerissa Krisna Putri (LSJ)

TAGS :  

Berita Terbaru

FH UGM Terima Penghargaan LEPRID atas Inisiatif Museum Koruptor Indonesia

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) menerima penghargaan bergengsi dari Lembaga Prestasi Indonesia-Dunia (LEPRID) atas kontribusinya dalam pendirian Museum Koruptor Indonesia—museum edukasi antikorupsi pertama …

Perkuat Kepastian Hukum Hak Cipta, Dosen FH UGM Sampaikan Keterangan Ahli di Mahkamah Konstitusi

Selas (22/7/2025), dua dosen dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Laurensia Andrini, S.H., LL.M., Ph.D., dari Departemen Hukum Bisnis, dan Dr. Muhammad Fatahillah …

Fakultas Hukum UGM Dorong Produktivitas Kerja melalui Pengembangan Kapasitas SDM

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) melaksanakan kegiatan pengembangan kapasitas sumber daya manusia pada 17–19 Juli 2025 di Tawangmangu, Karanganyar. Kegiatan ini diikuti oleh …

Scroll to Top