Muhammad Karim Amrullah, mahasiswa program studi doktor ilmu hukum melakukan presentasi mengenai pandangannya tentang standar pelayanan mahasiswa penyandang disabilitas. Presentasi tersebut dilakukan dalam The 5th International Disability Inclusion Symposium (IDIS) The University of Tokyo pada Senin (2/12/2024). Simposium Internasional Inklusi Disabilitas (IDIS) ke-5 ini adalah acara yang bertujuan untuk memajukan inklusi disabilitas dengan fokus pada pendidikan tinggi dan transisi menuju dunia kerja yang dilaksanakan bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional. Simposium ini mengumpulkan para ahli, civitas akademika, dan pemangku kebijakan dari negara-negara ASEAN dan Pasifik untuk membahas praktik pendidikan inklusif, pengembangan kepemimpinan mahasiswa, serta transisi dari kehidupan akademik ke dunia kerja bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya internasional untuk mempromosikan kesetaraan dan aksesibilitas dalam pendidikan dan peluang karier.
Presentasi yang dibawakan berjudul A Simple Law Outlook on Service Standards for Persons with Disabilities (PwD) Students in Higher Education in the Republic of Indonesia (RI). Melalui presentasi tersebut Karim menjelaskan beberapa hal. Pertama mengenai perspektif hukum mengenai penyandang disabilitas. Secara filosofis pada awalnya perpektif hukum terhadap penyandang disabilitas berbasis amal (charity-based) yang fokus pada ketidakmampuan individu yang kemudian beralih menjadi berbasis hak asasi manusia (human-right-based) dengan mengakui kesetaraan hak untuk menjalani kehidupan. Karim menyebutkan beberapa peraturan perundang-undangan antara lain UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 19 tahun 2011 tentang Ratifiasi UNCRPD, dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kedua, mengenai tantangan dalam implementasinya yang antara lain kurangnya regulasi teknis di daerah, persepsi negatif bahwa penyandang disabilitas dianggap beban, dan ketersediaan fasilitas tetapi tidak dimanfaatkan secara optimal, serta permasalahan demografis dan geografis.
Lebih lanjut, Karim juga memaparkan mengenai apa yang telah dilakukan kampus, dalam hal ini yaitu Universitas Gadjah Mada, dalam mendorong nilai inklusifitas. UGM telah mendirikan Unit Layanan Disabilitas (ULD) yang menyediakan panduan fasilitas dan kebutuhan dasar mahasiswa ataupun tenaga kependidikan penyandang disabilitas. Kemudian juga menerapkan Universal Design for Learning, yaitu pendekatan pembelajaran untuk memberi peluang pendidikan lebih luas bagi penyandang disabilitas. UGM juga beberapa kali berkolaborasi dengan NGO. Salah satunya dalam penyelenggarakan workshop literasi digital bagi penyandang disabilitas bersama Telkom serta program transisi pendidikan bagi tuna netra di tingkat nasional dan regional. Terakhir, Karim juga menyampaikan mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai komitmen untuk meningkatkan inklusifitas yaitu evaluasi kapasitas internal dan penyesuaian infrastruktur, meningkatkan keterlibatan penyandang disabilitas dan NGO sebagai mitra serta membagikan informasi dan evaluasi secara berkelanjutan.
Presentasi Karim diakhiri dengan ajakan kepada seluruh elemen untuk terus mendukung inklusi disabilitas di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan karier serta membangun masyarakat yang lebih sadar dan menjunjung tinggi inklusifitas, karena inklusi tidak hanya sebagai tanggungjawab moral melainkan juga kewajiban hukum untuk memastikan kesetaraan hak penyandang disabilitas.
Penulis: Aulianisa Azza Camelia (part-timer pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum)