Dosen Hukum Lingkungan FH UGM Bersama Para Ahli Soroti Fenomena Pertambangan di Daerah Istimewa Yogyakarta: Antara Keistimewaan, Ekonomi, dan Kerusakan Lingkungan

Episode Pro Justisia TVRI Yogyakarta pada Selasa (24/6/2024) menyoroti isu aktual mengenai “Pertambangan di Daerah Istimewa Yogyakarta: Antara Keistimewaan, Ekonomi, dan Kerusakan Lingkungan”. Program ini merupakan hasil kolaborasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada melalui unit Pusat Konsultasi Bantuan Hukum dengan TVRI Yogyakarta. Dalam episode kali ini, telah hadir 3 narasumber lintas bidang, yaitu Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.Hum. (Dosen Hukum Lingkungan FH UGM), Wasingatu Zakiyah, S.H., M.A. (Direktur Caksana Institute), dan Jaya Darmawan, S.A. (Peneliti CELIOS dan anggota Koalisi Jogobanyu Jogjakarta).

Dipandu dengan gaya reflektif melalui pembacaan puisi bertema krisis ekologis, acara dibuka dengan pesan kuat: bahwa bumi Yogyakarta yang dikenal istimewa kini tengah menghadapi ancaman serius akibat eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.

Fenomena Pertambangan dan Dampak Lingkungan

Totok Dwi Diantoro membuka diskusi dengan menegaskan bahwa fenomena pertambangan di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari persoalan klasik antara eksploitasi dan konservasi. Walau skalanya tidak sebesar di wilayah lain seperti Papua atau Kalimantan, aktivitas tambang di DIY tetap menimbulkan dampak ekologis yang signifikan.

Menurutnya, aktivitas penambangan batuan, pasir, dan gamping di berbagai wilayah DIY telah memicu potensi longsor di lereng Merapi, penurunan debit air tanah, hingga pencemaran air permukaan. “Kegiatan tambang di Yogyakarta memiliki dampak penting terhadap lingkungan dan seharusnya tidak dipandang sebagai aktivitas ekonomi biasa,” ujar Totok.

Totok menekankan pentingnya tanggung jawab hukum dalam pengelolaan lingkungan. Setiap izin tambang, katanya, harus memperhitungkan analisis dampak lingkungan (AMDAL) secara serius dan bukan sekadar formalitas. “Kita tidak bisa menukar keindahan dan keselamatan lingkungan dengan keuntungan sesaat,” tambahnya.

Keistimewaan Jogja dan Tata Kelola Tambang

Perspektif berbeda disampaikan Wasingatu Zakiyah, yang menyoroti isu pertambangan dari kacamata keistimewaan dan tata kelola daerah. Menurutnya, Yogyakarta memiliki warisan filosofis yang sangat khas, sumbu imajiner antara Gunung Merapi, Keraton, dan Laut Selatan, yang mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Aktivitas tambang yang tidak terkendali, katanya, berpotensi merusak tatanan filosofis, ekologis, dan spiritual tersebut.

Zaki juga mengingatkan bahwa kawasan karst dan pesisir DIY telah ditetapkan dalam moratorium pertambangan, namun implementasinya masih jauh dari harapan. “Banyak izin tambang masih aktif, bahkan di kawasan lindung. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan pelaksanaan kebijakan di lapangan,” jelasnya.

Ia juga menyoroti bahwa DIY bukan wilayah kaya tambang secara geologis. Material vulkanik yang dihasilkan Merapi bersifat terbatas dan memiliki siklus alam yang panjang. Eksploitasi berlebihan justru mengancam heritage alam seperti gumuk pasir yang seharusnya dilindungi.

“Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya soal budaya dan politik, tetapi juga soal bagaimana kita menjaga hubungan dengan alamnya,” tegas Zaki. Ia menambahkan bahwa perizinan tambang harus transparan, reklamasi pasca-tambang wajib ditegakkan, dan masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan. Saat ini, Pemerintah Daerah DIY tengah merevisi Peraturan Daerah tentang Pertambangan, dan proses ini perlu dikawal agar berpihak pada kelestarian lingkungan dan keadilan ekologis.

Aspek Ekonomi: Ketimpangan Manfaat dan Biaya Sosial

Dari sisi ekonomi, Jaya Darmawan peneliti CELIOS memaparkan hasil riset Koalisi Jogobanyu Jogjakarta yang menggunakan pendekatan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) terhadap kegiatan pertambangan di DIY. Ia mengungkapkan fakta mencengangkan: setiap tahun, tambang di Yogyakarta menimbulkan biaya sosial dan lingkungan hingga Rp2,5 triliun, sementara manfaat ekonominya hanya sekitar Rp200 miliar.

Perhitungan tersebut memperhitungkan berbagai eksternalitas negatif seperti biaya kesehatan masyarakat, kerusakan infrastruktur, hilangnya produktivitas tanah, dan kegagalan reklamasi. Dengan memperhitungkan nilai bersih saat ini (net present value) selama 20 tahun, hasilnya menunjukkan kerugian ekonomi mencapai Rp1,07 triliun.

“Jika semua biaya eksternalitas diperhitungkan, jelas bahwa pertambangan di Yogyakarta secara ekonomi justru merugikan,” ujar Jaya. Ia menilai kebijakan pembangunan masih bias pada pertumbuhan jangka pendek tanpa menimbang kerugian ekologis dan sosial yang ditanggung masyarakat.

Menurutnya, Indonesia perlu segera menerapkan pendekatan ekonomi lingkungan (environmental economics) dalam setiap kebijakan industri ekstraktif agar pembangunan tidak mengorbankan keberlanjutan.

Penyuluhan Hukum Pro Justisia TVRI Yogyakarta yang difasilitasi oleh PKBH FH UGM ini menyajikan refleksi mendalam bahwa isu pertambangan di Yogyakarta bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga persoalan tata kelola, keistimewaan budaya, dan keadilan ekologis.

Totok menekankan pentingnya penegakan hukum lingkungan, Wasingatu Zakiyah menegaskan nilai keistimewaan dan tata kelola ekologis, sedangkan Jaya Darmawan menunjukkan bahwa pertambangan selama ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Ketiganya sepakat bahwa kebijakan pertambangan di Daerah Istimewa Yogyakarta perlu ditinjau ulang secara menyeluruh, dengan menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai pusat kebijakan publik. Yogyakarta yang istimewa, tegas mereka, harus menjadi contoh bagaimana pembangunan dapat selaras dengan pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat.

Upaya ini selaras dengan komitmen FH UGM terhadap capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Melalui pembahasan mengenai isu pertambangan yang menekankan pentingnya tindakan nyata dalam menghadapi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali, sejalan dengan SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim). Upaya pelindungan kawasan karst, pesisir, dan gumuk pasir sejalan dengan SDG 15 (Ekosistem Daratan), agar tetap lestari melalui moratorium tambang, pelaksanaan reklamasi, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan lingkungan. Selain itu, dorongan terhadap tata kelola pertambangan yang transparan dan akuntabel mencerminkan implementasi SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh), karena penegakan hukum lingkungan yang konsisten dan partisipasi masyarakat menjadi kunci terwujudnya kelembagaan yang tangguh serta keadilan ekologis.

Dengan demikian, siaran ini bukan hanya menjadi wadah edukasi hukum dan advokasi lingkungan, tetapi juga kontribusi nyata akademisi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan ekologis di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penulis: Aji Baskoro (Asisten Penyuluhan Hukum)

TAGS :  

Berita Terbaru

Komitmen terhadap SDGs, FH UGM dan IIGF Institute terbitkan Buku Refleksi Hukum dan Kelembagaan dalam Pembangunan Infrastruktur

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) bersama IIGF Institute, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, menerbitkan buku Dinamika Hukum dan Kelembagaan dalam Pembangunan Infrastruktur: Bunga Rampai …

Mewujudkan Langkah Nyata 2026, Fakultas Hukum UGM Menyelenggarakan Rapat Kolaborasi Dengan Kejaksaan Tinggi DIY

Kamis (4/12/2025), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) menyelenggarakan rapat kolaborasi dengan pihak Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY). Rapat kolaborasi tersebut dilaksanakan …

ALSA LC UGM Gelar ALSA CLCC 2025 untuk Perkuat Advokasi Hak Kesehatan ODHA dan Lawan Stigma

Di tengah rutinitas akademik yang penuh dengan tugas, mahasiswa terkadang lupa bahwa hukum tidak semata-mata berbicara tentang pasal-pasal dan ayat-ayat. Ia juga tentang manusia. Itulah …

Scroll to Top