Jumat (14/11/2025), Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PANDEKHA FH UGM) bersama Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Centra Initiative, Imparsial, Raksha Initiatives, dan PRISMA, menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Hubungan Sipil-Militer dalam Negara Demokrasi: Dinamika Reformasi TNI”. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid di Ruang 3.1.1 FH UGM serta melalui Zoom Meeting. Acara ini menghadirkan narasumber Dr. Al Araf, Made Tony Supriatma, Ph.D., Usman Hamid, Dr. Arifah Rahmawati, M.A., dan Virga Dwi Efendi, S.H., LL.M., dengan moderator Wahyudi Djafar dari Raksha Initiatives.
Diskusi dimulai dengan pemaparan Usman Hamid mengenai kegagalan keadilan transisi yang terus membayangi hubungan sipil–militer di Indonesia. Ia menyoroti masih lemahnya kendali sipil atas militer, impunitas terhadap pelanggaran HAM berat, serta bangkitnya praktik bisnis militer yang berpotensi menggerus profesionalisme. Menurutnya, penyangkalan sejarah dan pembungkaman kritik publik memperburuk fondasi demokrasi dan menjauhkan Indonesia dari prinsip akuntabilitas negara modern.
Made Tony Supriatma kemudian menyoroti meningkatnya praktik securitization dalam kebijakan publik, di mana isu-isu sipil seperti pendidikan, pangan, dan pembangunan diperlakukan sebagai isu keamanan. Ia menunjukkan ekspansi struktur teritorial dan pasukan khusus TNI dalam beberapa tahun terakhir yang dinilai dapat mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer, serta memperkuat konsentrasi kekuasaan eksekutif. Ekspansi ini dinilai turut menyempitkan ruang demokrasi dan melemahkan mekanisme kontrol publik.
Sementara itu, Dr. Arifah Rahmawati menawarkan pembacaan yang lebih dalam melalui perspektif gender. Ia menjelaskan bahwa kultur maskulinitas hegemonik dalam institusi militer tidak hanya melahirkan kekerasan dalam konflik, tetapi juga membentuk relasi kekuasaan internal yang menekan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan standar maskulin. Ia menekankan bahwa reformasi TNI perlu mencakup transformasi budaya, pelatihan etika, dan penerapan perspektif gender untuk mencegah berulangnya kekerasan berbasis gender baik di medan konflik maupun dalam tubuh institusi itu sendiri.
Pada sesi berikutnya, Dr. Al Araf menguraikan menguatnya militerisme seiring dengan melemahnya kualitas demokrasi. Ia menyoroti pelibatan militer dalam jabatan sipil, politisasi hukum, serta semakin berkurangnya ruang bagi kritik publik sebagai bentuk penyimpangan relasi sipil-militer. Kecenderungan ini dianggap mengancam profesionalisme TNI dan melemahkan prinsip supremasi sipil yang menjadi landasan demokrasi konstitusional.
Virga Dwi Efendi menutup sesi dengan meninjau revisi UU TNI 2025 melalui perspektif Hukum Administrasi Negara. Ia mengingatkan bahwa perluasan kewenangan militer dalam lembaga sipil, menaiknya usia pensiun perwira, dan bertambahnya tugas TNI berpotensi mengaburkan prinsip legalitas dan akuntabilitas administrasi. Ketika pejabat berlatar belakang militer menduduki jabatan sipil namun tetap berada dalam struktur komando TNI, mekanisme pengawasan publik dan kontrol hukum menjadi rentan melemah.
Relevansi diskusi ini juga terhubung dengan beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pembahasan mengenai akuntabilitas, supremasi sipil, dan perlindungan HAM secara langsung mendukung SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh, yang menekankan pentingnya lembaga yang transparan, akuntabel, dan inklusif. Perspektif gender yang disampaikan Arifah juga berkaitan erat dengan SDG 5: Kesetaraan Gender, terutama dalam konteks pencegahan kekerasan berbasis gender dan perlindungan kelompok rentan dalam kebijakan pertahanan. Selain itu, penguatan kapasitas masyarakat sipil sebagaimana dilakukan melalui kolaborasi PANDEKHA dan Koalisi Masyarakat Sipil turut mendukung SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, dengan memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam mendorong tata kelola yang demokratis.
Dengan diselenggarakannya diskusi ini, PANDEKHA FH UGM bersama Koalisi Masyarakat Sipil berharap dapat memperkuat pemahaman publik serta mendorong upaya berkelanjutan untuk memastikan bahwa reformasi TNI selaras dengan prinsip negara hukum, penghormatan HAM, kesetaraan gender, serta tujuan pembangunan berkelanjutan atau SGDs lainnya. Seluruh narasumber sepakat bahwa masa depan demokrasi Indonesia hanya dapat terjaga apabila supremasi sipil ditegakkan dan peran militer dibatasi secara tegas dalam ranah non-pertahanan.
Penulis: Poppy Hairunnisa (PANDEKHA FH UGM)




