Kejaksaan Republik Indonesia (Kejari) merupakan salah satu dari tiga lembaga negara yang diberi kewanangan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi (TPK) di Indonesia. Kejari, sebelum diberlakukannya sistem optimalisasi, menggunakan sistem target dalam menilai efektivitasnya memberantas TPK. Berdasarkan sistem target, dalam pelaksanaannya Kejari dinilai “cukup efektif” dalam memberantas TPK. Hal tersebut disampaikan Ajimbar, S.H., M.H. dalam Ujian Promosi Doktor pada Selasa (11/10).
“Dikatakan efektif apabila mencapai target 1457 kasus,” ujar Ajimbar setelah memaparkan bahwa berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitiannya bahwa rata-rata kasus TPK yang ditangani Kejari per tahunnya adalah 1284,3 kasus.
Ajimbar mengungkapkan berbagai faktor penghambat kinerja Kejari dalam pemberantasan TPK. Terdapat tiga faktor penghambat dalam desertasinya yang berjudul Kajian Pelaksanaan Tugas Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan. Faktor-faktor tersebut dilihat dari aspek peraturan perundang-undangan, aspek internal Kejari, dan aspek eksternal Kejari.
Terdapat perundang-undangan yang menghambat Kejari melakukan tindakan represif terhadap beberapa pelaku TPK. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah putusan Makhamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 dalam Pasal 384 ayat (1). Penyidik terlebih dahulu harus memiliki izin tertulis dari Presiden, Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, atau Kepala Daerah terhadap pelaku TPK tertentu.
Peraturan perundang-undangan lain yang dikritisi Ajimbar adalah mengenai sanksi pidana mati terhadap pelaku TPK yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemerantasan TPK. Pelaku TPK dapat dipidana mati apabila korupsi dilakuakan dalam keadaan tertentu. Sayangnya, kriteria mengenai keadaan tertentu tersebut belum dirumuskan secara jelas.
“Saran kita (promovendus), supaya kriteria-kriteria dalam keadaan tertentu itu harus dimuat dalam TPK yang jelas. Kemudian pejabat yang menetapkan (kriteria yang dimaksud), siapa yang berwenang: apakah panglima TNI dalam keadaan negara tidak aman, apakah Menteri Keuangan ketika krisis moneter, apakah bencana alam ditetapkan oleh Menteri Lingkungan, ini harus jelas dimuat,” tegas Ajimbar.
Terkait hambatan di internal Kejari, Ajimbar menekankan perlunya penerapan ilmu bela negara oleh setiap personil Kejari. “Tindakan represif di tingkat penyidikan banyak hambatannya. Ketika jaksa tidak memiliki jiwa pengabdian yang tinggi, sulit mendapatkan hasil,” ungkapnya. (Lita)